Lihat ke Halaman Asli

Sore di Tepi Danau Kampus Depok

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

31 Agustus 2010

Di bawah kerindangan pohon-pohon besar di tepi sebuah danau yang terletak di antara dualandmark kampusku, aku berteduh. Sekadar kebiasaanku di sore hari setiap Ramadhan menjelang berbuka puasa, setelah lelah dengan kuliah. Namun, kini aku sudah menjadi sarjana. Sebuah gelar yang kudapat setelah berjuang keras menyelesaikan skripsi di tengah keterbatasan biaya penelitian.Sebenarnya, kalau aku tidak teringat kedua orang tuaku di kampung yang sudah menginginkan anaknya segera menjadi sarjana dan bekerja untuk meringankan beban mereka di sana, aku lebih ingin menunda kelulusan karena kupikir aku belum berbuat banyak selama menjadi mahasiswa di kampus ini.

Kampus ini dengan adanya aku atau tidak adanya aku sepertinya sama saja. Mahasiswanya tetap akan belajar, sebagian mungkin ikut organisasi, birokrat kampus ini akan tetap mengeluarkan kebijakan sendiri, keamanan dan ketentraman kampus juga biasa-biasa saja. Aku teringat begitu menggebunya aku masuk kampus ini. Karena saat aku masih belajar di SMA di kampungku, ada beberapa mahasiswa dari kampus ini yang berkunjung ke SMA-ku menjelaskan macam-macam tentang kampus ini, dari mulai berbagai program studi yang ada sampai sejarah pergerakan kemahasiswaan kampus ini pun diceritakan. Dari dulu, aku memang bercita-cita untuk menjadi mahasiswa kampus ini. Bahkan, bukan hanya sekadar mahasiswa tetapi menjadi aktivis mahasiswa yang memotori perubahan sosial untuk masyarakat dari kampus ini. Karena aku sering membaca bagaimana mereka dulu para aktivis mahasiswa kampus ini menjadi bermanfaat bagi masyarakat dan kemudian menjadi orang hebat setelah lulus dari kampus ini. Tidak hanya membaca tetapi juga aku pun ternyata menemukan secara langsung sosok orang-orang hebat dari senior SMA-ku yang masuk ke kampus tersebut dan menjadi aktivis mahasiswa, para seniorku itu berubah, mereka terlihat lebih hebat daripada sebelumnya.

“Woi ! Bang Jimi !” Sebuah suara membuyarkan lamunanku, suara bocah yang sudah familiar dengan telingaku, ya, itu pasti suara Musta’ribah.

“Assalamualaykumm gitu kek Rib ! Dah berapa kali saya bilang kalo nyapa orang jangan wai-woi-wai-woi aja, malu tuh sama nama yang katanya dari nama suku Arab cucu moyang Nabi Ibrahim” Sedikit kutegur anak itu dengan sindiran, karena namanya memang diambil dari suku Musta’ribah yang merupakan cucu moyang Nabi Ibrahim AS. Aku dulu memang tidak percaya nama dia diambil dari sana ketika pertama kali kutanyakan kepada orang tuanya yang membuka Warteg di Belakang Rel.

“Iya, abang lagi baca cerita Nabi Muhammad yang abang pinjem dari toko buku sebelah nih, waktu nunggu lahirannye die, nah baru halaman awal-awal ada nama itu Musta’ribah, bagus juga ya udah abang jadiin aja dah tuh nama buat die” Begitu penjelasan ayahnya. Dia pasti membaca Sirah Nabawiyah karangan Syaikh Shafiyyurahman Al-Mubarakfury halaman awal tentang bangsa Arab, sebuah bagian yang luput dari ingatanku ketika itu sehingga aku tak percaya nama tersebut diambil dari sana.

“Yah...dia bengong lagi, mikirin apa sih bang ? Gak biasanya abang gini, biasanya kalo lagi disini pasti nyoret-nyoret di kertas, bikin rencana apa gitu, ini mah bengong mulu” Usik Musta’ribah lagi yang kembali membuyarkan pikiranku. “Saya lagi mikirin kamu, gimana nasib kamu kalau pintu belakang rel gak dibuka-buka ?” Akhirnya kegelisahanku kuungkapkan jua.

“Yaaa...tenang aja bang, saya kan masih bisa jualan koran, masih bisa jualan tisu, lagian masih ada yang mampir di warung bapak, Insya ALLAH, saya sama bapak-ibu masih bisa idup bang !” Jawab dia dengan mantap.

Sebuah jawaban yang keluar meyakinkan dari mulut anak yang menjual koran dan tisu. Aku memang mengenalnya pertama kali sebagai pejual koran sekaligus tisu. Anak yang umurnya kira-kira sepuluh tahun itu termasuk periang, lincah, meski tubuhnya kecil dan kucel. Bila berkali-kali menawarkan dagangannya tidak ada yang mau membeli, dia akan menyanyi, menyanyi lagu apa saja asal ceria, sehingga membuatnya tetap bersemangat.

Meski begitu, kepadaku Musta’ribah pernah mengeluh. Katanya, hidupnya memang semakin sulit semenjak pintu Belakang Rel ditutup. Jadi, dia semakin menggantungkan hidupnya dari orang-orang yang membeli koran dan tisunya. Tetapi dia merasa, kebanyakan orang-orang yang mau membeli tisu dan korannya bukan karena sangat membutuhkannya, tapi lebih karena kasihan. Karenanya, begitu orang-orang memakai Blackberry atau telepon genggam pintar yang bisa membaca berita dengan cepat serta orang-orang mulai berkampanye go green, penghasilannya setiap hari berkurang karena koran sudah tidak dibutuhkan dan memakai tisu artinya menambah panas bumi. Apalagi sekarang ditambah dengan ditutupnya pintu belakang rel kampus ini. Anak tersebut dan keluarganya semakin dijerat kesusahan karena harus tetap mengepulkan dapur dan mendapatkan ongkos pergi sekolah Musta’ribah yang harus menggunakan minimal dua angkot
31 Agustus 2006

Pertama kali mengenalnya ketika aku sedang seperti ini di sore hari berteduh di bawah pohon rindang di tepi danau ini juga, tapi saat itu aku masih menjadi mahasiswa baru dan pintu belakang rel belum ditutup serta rektor kampus ini pun belum yang sekarang. Saat itu seorang anak kira-kira berusia enam tahun datang menawarkan koran. Waktu itu baru selesai Paduan Suara dan matahari hampir mencapai puncaknya. Sebentar lagi azan Zuhur akan berkumandang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline