Seorang tetangga yang biasa saya panggil cik (paman), mengatakan pada saya; 'alhamdulillah ya sekarang sudah selesai pendidikannya. Itu menandakan orangtua berhasil mendidik kalian', katanya. Lalu saya jawab; 'alhamdulillah cik, berkat doa dan dukungannya. Justru saya merasa beban saat ini, apakah saya mampu mengikuti jejak orangtua saya yang dinilai sukses mendidik anaknya'.
Hal yang sama mungkin juga dirasakan orang lain. Orangtua telah berhasil menyekolahkannya, tapi dia sendiri yang saat ini sudah juga berperan sebagai orangtua bertanya pada diri sendiri apakah dia mampu mengikuti jejak orangtuanya.
Anak itu amanah. Dilahirkan dalam kondisi polos dengan beragam potensi. Dia akan berkarakter apa saja; pejuang atau pecundang, pembawa perubahan atau perusak, penebar manfaat atau muadharat, dan sebagainya (hadits). Semua sangat tergantung bagaimana orangtua mendidiknya. Tanggung jawab pendidikan ini adalah bagian dari amanah dan merupakan hutang orangtua kepada anak.
Hutang orangtua, yang dalam hal ini adalah pendidikan tentu bukan sekedar mampu menyekolahkan anak ke jenjang pendidikan paling tinggi, dan dengan konsentrasi pendidikan yang dianggap 'mewah' di masyarakat; kedokteran, Akabri atau akapolri dan lain-lain. Sekolah untuk anak bukan pula ditandai dengan kemampuan orangtua untuk membelanjai pendidikannya di luar negeri dengan dana yang cukup fantastis.
Pendidikan yang sesungguhnya adalah pendidikan perilaku atau budi pekerti. Anak kita memang perlu bekal pengetahuan, tapi budi pekerti harus menjadi bagian yang utama dari dirinya. Mungkin orangtua hanya mampu menyekolahkan anak pada jenjang pendidikan menengah atas karena keterbatasan ekonomi, atau hanya sampai jejang strata satu. Itu tidak masalah. Yang penting pendidikan budi pekerti dalam keluarga sejatinya tidak pernah berhenti.
Tidak apa nanti mereka hanya berprofesi pedangang nantinya, tapi karena sudah dibekali nilai-nilai kebaikan tidak akan melakukan kecurangan, atau mengurangi takaran. Tidak apa mereka berprofesi petani kelak, tapi tidak mau menipu pedagang dengan produk karbitan. Atau mungkin anak kita akan diterima bekerja di pemerintahan atau perusahaan, tapi mereka tetap memegang prinsip dan nilai-nilai kebaikan yang selalu ditanamkan dalam keluarganya.
Pengamatan saya terhadap mereka yang sudah memiliki anak usia remaja, termasuk pengalaman pribadi walaupun anak saya baru menginjak usia pendidikan menengah pertama, bahwa mendidik itu memang penuh tantangan. Membesarkan fisik anak dan memenuhi kebutuhan materi mereka tidaklah begitu masalah, tapi mendewasakan jiwa mereka itulah yang paling berat.
Membesarkan fisik dan memenuhi kebutuhan materi, kalaupun mampu, itu bahkan tidak selalu berdampak positif pada perkembangan jiwanya. Anak yang dibesarkan dengan hal-hal yang bersifat materialistis justru akan berkarakter negatif; ketergantungan, tidak bisa dibebani masalah, tidak akan mampu memikul tanggung jawab secara maksimal, dan kurang peka karena jarang dihadapkan pada situasi yang sulit.
Memang tidak masalah karena hidup mapan, lalu kita memenuhi berbagai permintaan anak secara materi. Tapi jangan lupa untuk memasok kebutuhan jiwa mereka. Perkenalkan dan dekatkan mereka dengan Allah dan rasul-Nya. Berikan teladan kebaikan kepada mereka, biasakan mereka untuk berbuat baik dan bermanfaat bagi orang lain, dan berikan mereka makanan yang halal lagi baik karena makanan yang kita berikan akan berpengaruh terhadap perkembangan karakter mereka.
Secara eskatologis, orangtua akan dimintai pertanggungjawaban, salah satunya adalah perihal mendidik anak. Untuk itu, orangtua harus melunasi hutangnya pada anak, yakni membesar dan mendidik mereka agar menjadi anak yang berkualitas (berilmu, beriman, dan beramal saleh). Semoga.