Lihat ke Halaman Asli

Johansyah M

Penjelajah

Sering-seringlah Evaluasi Diri

Diperbarui: 16 Juni 2020   17:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.pinterest.com/pin

Untuk tidak bosan agar kita tetap menyisihkan waktu untuk muhasabah (mengevaluasi) diri kita. Terlebih di saat sendiri, menyendiri. Sebab pada umumnya kita ini lebih banyak dan sibuk melihat dan menilai orang lain itu seperti apa. Tentu ini hal yang lumrah dan tidak dapat dihindari karena setiap hari kita melihat, mendengar, merasakan, dan mengalami berbagai hal ketika berinteraksi dengan orang lain, bahkan benda-benda yang ada di sekitar kita.

Mengevaluasi diri adalah proses pengukuran atau penilaian atas perkataan, sikap, dan perbuatan kita. Apakah perkataan kita baik dan benar, serta tidak menyakiti orang lain? Apakah sikap yang kita tunjukkan membuat orang lain tersinggung atau tidak, nyaman atau tidak? Apakah perbuatan yang kita lakukan sesuai dengan norma, etika, moral berdasarkan agama dan budaya? Dan yang jelas, dalam proses evaluasi diri ini, sejatinya seseorang lebih banyak melihat kekurangannya, bukan melihat kelebihan yang ada pada dirinya karena itu dapat membuat seseorang menjadi ujub, ria, takabbur, dan sombong.

Salah satu sifat buruk yang umumnya dimiliki manusia adalah membangun logika-logika dengan kalimat yang indah untuk menyatakan dan menegaskan kepada orang lain bahwa dia itu baik. Kita kan suka membela diri, dan enggan mengakui kekurangan seperti sifatnya iblis ketika disuruh untuk sujud kepada Adam, dia enggan dan menyombongkan diri. Nah, kita ini kalau sudah salah, seperti iblis. Tetap membela diri, padahal kita salah.

Perkataan itu bagaimana pun eloknya, akan dipegang dan diyakini oleh orang lain di sekitar kita manakala itu di kali pertama, atau mereka belum berinteraksi banyak dengan kita. Tapi, kondisinya akan berubah manakala orang lain di sekitar banyak bergaul dan berinteraksi dengan kita. Dalam situasi seperti ini, maka yang mereka lihat dan yakini bukan lagi perkataan, tetapi sikap dan tingkah laku kita. Kalau sejalan orang akan salut, tapi kalau tidak kita akan dikecilkan.

Perlu dipahami bahwa kehormatan dan harga diri itu ada pada kesejalanan dan kesejajaran antara perkataan dan perkataan seseorang. Itu menjadi satu paket yang tidak terpisahkan. Kalau ada yang menilai kehormatan itu pada keturunan, harta, dan kedudukan, itu adalah keliru besar. Kehormatan manusia itu ada pada kebaikannya, ketika dia mampu melakukan apa yang dia katakan.

Coba saja, kalau ada seorang perencamah, di mana dia menyatakan ini halal atau haram. Tapi dalam kenyataannya dia tidak mampu mewujudkannya bahkan bertolak belakang antara perkataan dan perbuatannya. Yang dikatakan A, yang dilakukan B. Maka orang tidak menaruh rasa hormat sama sekali padanya karena tidak sesuai antara yang dikatakan dengan apa yang dilakukannya.

Dalam hal ini, orang-orang yang paling disorot adalah para pemuka agama, penceramah, guru, tokoh masyarakat yang sering memberi nasihat atau petuah moral. Orang lebih benci pada penceramah yang tidak konsisten antara perbuatan dan perkataan dari pada orang biasa yang tidak sering memberi petuah menggunakan ayat maupun hadits.

Untuk itu, marilah kita senantiasa memperbaiki diri dengan lebih banyak mengakui kesalahan dan menata ulang sifat-sifat dalam diri kita. Agar diarahkan untuk lebih menjadi orang yang konsisten melakukan apa yang telah dikatakan. Pada penutup tulisan ini, saya memetik salah satu peribahasa; 'perkataan itu menggerakkan, tapi perbuatan itu memikat hati'. Semoga ke depan kita lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline