Lega rasanya ketika serinai berbunyi. Saat-saat yang dinantikan untuk berbuka puasa pun tiba.
Dulu tahun 80-an di Kelupak mata (sebuah perkampungan kecil di Aceh Tengah), di mana belum ada listrik, biasa digunakan lonceng sebagai penanda telah tibanya waktu berbuka puasa. Bismillah, Allahumma laka shumtu..., kita pun berbuka puasa dengan aneka menu yang sudah dipersiapkan. Nikmat sekali rasanya, karena dari pagi, siang, hingga sore kita mengendalikan diri untuk tidak makan dan minum.
Benar sekali bahwa kita telah berbuka puasa. Tapi ingat, di saat puasa dari makanan dan minuman sudah kita akhiri, puasa harus tetap dilanjutkan. Bukan makan minum tentunya, tapi membuat indera, pikiran dan hati kita untuk tetap berpuasa. Seharusnya begitu, orang yang berpuasa itu hanya terbebas dari puasa makan minum, tapi puasa lain sejatinya tetap dijalankan dengan istiqamah.
Indera, pikiran dan hati, berusaha dipertahankan agar tetap dalam keadaan berpuasa. Artinya indera, pikiran dan hati tetap kita kendalikan dari ragam kemaksiatan, atau hal-hal yang tidak bermanfaat. Dengan ungkapan lain, hanya fisik kita yang dipersilahkan berbuka puasa, sementara bagian lain, terutama hati, kita pertahankan tetap berpuasa.
Pernah ada kejadian dan ini lazim terjadi di sekitar kita. Manakala ada seorang tetangga yang menghina tetangganya. Tetangga yang dihina ini sabar dan tidak mau melayani ocehan tetangganya tadi.
Rupanya dia pernah mendengarkan ceramah yang mengatakan; 'puasa itu adalah tameng. Maka janganlah dia berkata kotor (jorok) atau melakukan tindakan bodoh. Jika ada orang yang mengajaknya berkelahi atau menghinanya, maka katakan; 'sesungguhnya aku puasa'. (HR. Bukhari no. 1894).
Persoalannya, dia memahami hadits dalam ceramah tadi terlalu sederhana. Kalau di siang hari kita harus bersabar terhadap hal-hal yang dapat memancing kemarahan.
Selepas berbuka kembali seperti biasa. Benar saja, setelah berbuka puasa, orang yang dihina tadi pergi ke rumah tetangga yang menghinanya, lalu mengatakan; 'sekarang apa maumu, kenapa kamu mengatakan begini dan begitu. Kenapa tadi saya diam? Itu karena tadi puasa. Sekarang akan saya ladeni apa pun kemauan kamu'. Lalu terjadilah keributan dan percekcokan, karena dia emosi dan menyimpan rasa dendam yang ditahan siang harinya.
Terkadang kita juga sering melihat sekolompok orang yang berkumpul setelah berbuka puasa pada malam hari. Mereka tidak bertarawih melainkan berkumpul untuk sekedar cerita-cerita, nonton bareng, atau membual tentang hal yang kurang bermanfaat. Padahal kalau puasanya mau maksimal, dia harus membarenginya dengan ibadah shalat tarawih sehingga kecil kemungkinan untuk melakukan hal yang sia-sia.
Pola puasa seperti ini masih banyak dianut oleh orang di sekitar kita. Puasa hanya di siang hari. Tapi setelah berbuka puasa dia bebas melakukan apa saja. Mulutnya tidak dikontrol, telinga tidak dijaga, pikiran dan hatinya juga tidak dikendalikan untuk memikirkan dan merasakan hal-hal yang bernuansa maksiat.
Metamorfosis ruhiyah itu tidak akan terjadi secara sempurna jika orang yang berpuasa hanya mampu menahan lapar di siang hari. Dia tidak mampu membuat diri berpuasa pada malam hari, dan abai dengan amalan-amalan yang dianjurkan untuk dikerjakan pada malam harinya. Maka tidak mengherankan, jika di syawal nanti dia tidak menunjukan perubahan apapun.