Lihat ke Halaman Asli

Johansyah M

Penjelajah

Kita Memang Butuh Tuhan

Diperbarui: 23 Juni 2018   15:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada pengalaman menarik ketika saya beberapa kali naik pesawat. Di saat pesawat berada pada ketinggian dan berada pada udara kosong, pesawat bergerak bagai mobil yang berjalan di trek bebatuan. Sebagian penumpang merasa was-was, takut pesawatnya jatuh. Saya juga takut sih.

Nah, yang menarik ketika mengamati orang-rang dalam pesawat tersebut. Banyak yang kelihatan pucat mukanya dan memanjatkan do'a. Saya tidak kenal siapa dan apa agama mereka. Tapi kebanyakan berdo'a menurut keyakinan masing-masing. Do'anya pasti sama, agar pesawatnya tidak bermasalah sehingga mereka dapat sampai ke tempat tujuan dengan selamat.

Kawan saya juga pernah bercerita. Kejadiannya beberapa tahun lalu ketika mereka serombongan ingin menyeberang dari Sabang ke Banda Aceh. Penyeberangan tersebut di siang hari di saat gelombang laut sangat tinggi, anginnya juga kencang. Di saat berada di tengah laut, tiba-tiba kapal mereka diterjang gelombang besar. Waktu itu katanya air sudah sempat masuk sedikit ke dalam. Semuanya berteriak histeris karena membayangkan kapal itu akan tenggelam dan mereka tidak akan selamat.

Pada saat genting seperti itu, semuanya menyebut dan berdo'a kepada Tuhan; 'ya Allah, selamatkan kami semua, hindarkanlah kami dari musibah'. Begitulah kira-kira do'anya. Bahkan bukan saja yang muslim berdo'a, ada beberapa turis di kapal tersebut juga berdo'a berdasarkan keyakinan mereka, agar mereka diselamatkan dari bencana.

Inilah salah satu bukti bahwa manusia mengakui keberadaan dan kebesaran Tuhan. Mungkin di kesehariannya banyak orang yang lupa mengingat dan mendekatkan diri pada Tuhan. Namun pada saat sekarat, kebutuhan akan Tuhan itu secara spontan akan menguat. Ini artinya ada pengakuan dalam setiap diri manusia bahwa di balik alam ini ada Dzat Yang Maha Kuat dan Maha Agung. Pada saat manusia buntu dengan logika atau dihadapkan pada realitas yang sekarat, maka di sanalah dia baru mengakui bahwa sesungguhnya dia butuh Tuhan.

Sehebat apa pun bantahan logika manusia tentang eksistensi Tuhan, toh pada akhirnya akan melunak pada saat seseorang itu dihadapkan pada situasi yang rumit. Situasi di mana tidak ada pilihan selain mati. Maka di sini dia tidak lagi mengandalkan kemampuan logikanya. Dia akan pasrah dan berdo'a hanya kepada Tuhan semata.

Nah, sebaiknya pengakuan terhadap Tuhan itu tidak harus dihadapkan pada situasi sekarat terlebih dahulu. Sejatinya itu dibangun secara kokoh dalam nurani menjadi sebuah kesadaran yang permanen dan konsisten, bahwa kita memang membutuhkan Tuhan, baik dalam situasi sulit, maupun dalam kondisi yang mapan.

Inilah salah satu bentuk fitrah dalam diri manusia, yaitu fitrah bergama. Bukankah ruh sudah bersaksi di depan Tuhan, bahwa dia mengakui Allah sebagai Tuhan yang maha tinggi. Pengakuan inilah yang melekat pada setiap diri manusia yang lahir ke dunia. Fitrah ini pula yang dapat mengembalikan manusia mampu kembali dari keyakinan yang menyimpang, maupun dari logika yang sesat. Fitrah ini akan menuntuh hati manusia untuk dapat menundukan diri kepada-Nya.

Dan yang jelas, jangan sampai di saat-saat sekarat kita baru ingat Tuhan. Jangan tunggu tua baru taat beribadah. Jangan tunggu sakit berat baru kita ingat akhirat. Bangunlah kesadaran akan agama itu sejak dini, sehingga kita senatiasa dalam naungan dan petunjuk-Nya dan senantiasa nyaman serta damai dalam segala situasi hidup dengan ragam dinamikanya. Semoga. Amin.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline