Lihat ke Halaman Asli

Johansyah M

Penjelajah

Ketika Messi Gagal

Diperbarui: 21 Juni 2018   03:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: www.laola1.at

Sungguh tiada yang menduga, seorang Messi dengan nama besarnya gagal mengeksekusi penalti. Tendangannya terbaca oleh kiper Islandia dan gagal menjadi gol. Sialnya lagi itu adalah modal berharga yang terbuang begitu saja malam itu untuk meraih tiga poin pada babak penyisihan grup. Tim tango hanya mampu bermain imbang dan harus rela berbagi angka dengan Islandia.

Ketika Messi gagal, hal yang menarik perhatian saya justru bukan Sang eksekutor, tapi penonton maupun komentator di jagad raya dan maya. Umumnya mereka sangat kesal dan menyesalkan kegagalan tersebut, terlebih publik Argentina yang sudah sangat berharap itu jadi gol penentu kemenangan.

Sayang, banyak yang mencerca, melayangkan kalimat yang merendahkan pemain terbaik dunia ini. 'apa pula pemain terbaik, eksekusi penalti saja gagal'. Dan yang menyedihkan lagi ketika kegagalannya dibandingkan dengan rivalnya Cristiano Ronaldo yang tampil memukau pada laga perdana menghadapi tim matador Spanyol. 

CR7 sukses mencetak hattrick. Pujian pun mengalir luar biasa padanya. Begitulah, yang satu dicemooh karena kegagalannya mengeksekusi penalti, dan yang satu dipuji setinggi langit karena kesuksesannya mencetak hattrick. Padahal sama-sama seri.

Beberapa pelajaran dapat kita petik. Antara lain; pertama, sehebat apa pun seseorang, dia tidak akan pernah selalu mulus dalam sebuah pekerjaan yang dia sendiri sudah sangat ahli dan lama melakoninya. Akan ada masa-masa tertentu yang dapat membuat dia gagal, dan itu lumrah atas nama manusia.

Kedua, sudah menjadi kebiasaan kita, selalu gampang memberikan penilaian, mengomentari sesuatu di luar diri kita. Bahkan kita berani mengatakannya bodoh, lemah, tidak hebat, dan sebagainya. 

Mungkinkah itu terucap karena pengaruh taruhan dan judi yang dipasang? Yang jelas, memberikan komentar itu gampang. Coba kalau kita yang main, mungkin satu sepakan bola pun belum tentu kita dapatkan.

Sesuatu itu kalau belum dicoba dan dialami langsung, belum sempurna. Kalau di luar lapangan kita berkoar-koar mengurai konsep dan teori apapun, belumlah apa-apa. Sebab akan berbeda kondisinya ketika kita sendiri yang menjadi pemain. 

Dalam kehidupan bermasyarakan dan bernegara juga seperti di sepak bola. Katakan ada Lembaga Swadaya Masyakat (LSM) yang begitu giat mengawasi kasus-kasus korupsi. Tapi giliran (katakan salah satu anggotanya bekerja di eksekutif), malah melakukan hal yang sama dan lebih parah.

 Ketiga, di saat orang gagal sebenarnya kita harus belajar mengapresiasi, bukan mencerca. Inilah yang tidak banyak dimiliki oleh orang. Sifat suka memberikan apresiasi. Kebanyakan orang memberikan cercaan saat seseorang gagal, dan diam ketika seseorang berhasil meraih sebuah prestasi di bidang tertentu.

Untuk itu, sering-seringlah menggunakan akal sehat dan nurani sebelum menilai orang lain. Minsalnya, ketika kita mengatakan seseorang itu lemah, tanyakan pada diri sendiri bagaimana seandainya kita yang melakukannya, mampukah? Kalau kita merendahkan orang lain karena kegagalannya, cobalah bertanya bagaimana kalau kita yang dihina orang lain karena kegagalan kita, bagaimana rasanya?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline