Lihat ke Halaman Asli

TEOLOGI DAN PUISI?

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

 

pada mulanya...


pada mulanya Sang Penyair itu adalah Allah
ex-nihilo; dari tidak ada menjadi ada
bumi adalah puisi-Nya
samudera raya biru adalah tinta-Nya
langit awan putih kertas-Nya
sanggupkah tuliskan betapa indahnya
puisi-Nya tentang bumi ini?

Teologi dan puisi apa sih relevansinya? Francesco Petrach
(1304-74), teolog penyair mengatakan teologi adalah puisi actual,
puisi tentang Tuhan yang menjadi efektif bukan karena telah
membuktikan sesuatu melainkan karena langsung menembus hati.

 Puisi adalah esensi perasaan dan hati. Merekam momentum agung, indah, tragis,romantis, melankolis atau realistis jadi abadi.
 Pemahaman saya lebih kepada puisi itu dominan perasaan, emosi, mistis ( puisi-puisi Rumi,Blake,Gibran),ambigutif, konotatif, imajinatif.dan tidak boleh dilupakan gaya  expresionisme puisi Chairil Anwar... "aku mau hidup seribu tahun lagi"
 

Bagaimana dengan puisi dalam Alkitab? Saya sendiri mulai jatuh
cinta dengan puisi setelah mempelajari puisi Ibrani.Seorang teolog
biblika berkata bahwa puisi Ibrani dalam Alkitab itu lebih daripada
 karya sastra karena tidak hanya sekedar kata-kata indah tapi juga bersifat sacral, otoritas dan hati nurani penulis-penulisnya dipenuhi perasaaan Allah. Efektifitasnya (fungsi transformasi) nyata ketika  orang yang hancur hatinya, dipulihkan dengan atau setelah membaca Mazmur 51 atau yang terkenal Mazmur 23 (Tuhan adalah Gembalaku) misalnya.

Ya, sejatinya kita belajar dari penyair Ibrani kuno (Daud,
Salomo dll) tentang bagaimana mengungkapkan cinta, emosi, perasaan
dengan jujur apa adanya.

Kahlil Gibran tak berlebihan menjuluki Yesus sebagai Raja Penyair,
 Penyair dari segala penyair. Yesus memiliki sifat-sifat dan kepekaan yang dibutuhkan untuk menjadi penyair agung yaitu hati yang lemah lembut, perasaan yang mudah jatuh iba kepada orang-orang yang menderita (compassion dan emphaty) , ajaran-ajaran-Nya sangatmetaforis dengan parable-parabel dan simili-simili dari alam sekitar, bahkan ketika memikul salib di bukit Golgota kata-kata-Nya tetap puitis:
"Hai puteri-puteri Yerusalem, janganlah kamu menangisi Aku,…

 

 Jadi, tak perlu malu dengan puisi walau sepi di tengah
 hingar bingar pragmatisme, materialisme dan konsumerisme dunia ini.Ibarat setitik air dari oase di tengah padang gurun, semangat tuk mempertahankan eksistensi puisi di tengah hedonisme dunia ini layak diperjuangkan.

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline