Dear Sanny,
Matahari bersinar menerangi bumi. Kupu-kupu yang cantik terbang hinggap diantara bunga-bunga di taman rumah kita. Namun, entah mengapa aku merasa tetap saja ada yang kurang dihatiku? Ah! Aku tak tahu. Meskipun, wajahmu telah kupandang dibingkai foto meja kerjaku. Senyum manismu yang seakan tersenyum ke arahku, mengusik jiwa dan menghiburku. Namun, gilanya! Aku tetap merindumu. Hatiku tetap mencarimu. Senyummu pun seakan tak pernah menjadi obat pelipur rindu. Obat pelipur Rara. Rasanya, aku ingin mencarimu di sana. Di tempat itu. Aku ingin membukanya dan menatap wajahmu kembali. Tapi, apakah aku sudah terlalu gila untuk melakukannya?!
“Mas Donny, ayo bangun!”
“Huaah!” Aku mengangkat kedua tanganku, menggeserkan lenganku ke kanan dan ke kiri. “Hop!” Aku menangkap lenganmu dan menarikmu masuk ke dalam pelukanku. “Jam berapa, sayang?”
“Jam enam pagi. Kamu harus berangkat kerja kan?”
“Oh iya! Aku ada janji hari ini bertemu dengan Yanes dan David.”
“Oh iya! Tolong katakan pada Yanes untuk datang ke sekolah besok?”
“Maksudnya?”
“Dia harus menghadap guru kelas karena anaknya tidak masuk kelas dan sering bolos dari sekolah.”
“Apa?” Aku memakai celana trainingku. “Yanes tidak pernah menceritakan hal tersebut.”
“Apakah para ayah selalu memperhatikan anak-anaknya?! Bukankah kalian lebih memperhatikan minuman apa yang memabukkan?”