Lihat ke Halaman Asli

2012: Tonggak Sejarah Baru Indonesia!

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ini merupakan catatan awal tahun 2012. Iseng saja, jika kita kurangi 2012 dengan angka 500, kita akan bertemu tahun 1512. Apa artinya kedua tahun tersebut? Berbicara mengenai 2012 merupakan suatu hal yang teramat meriuhkan, terlebih karena tahun ini dianggap sebagai tahun terjadinya ‘hari kiamat’ atau kehancuran besar (apocalypse) berdasarkan pada kalender bangsa Maya dan beberapa sekte serta keyakinan tertentu. Apapun yang mereka katakan, ulasan mengenai tahun ini merupakan ulasan yang membangun dan mencerahkan untuk ke depannya.


Tahun 1512, tepat 500 tahun lalu, merupakan tahun kedatangan armada Cornelis de Houtman dari Belanda di Sunda Kelapa (sekarang Jakarta). Tahun tersebut melanjutkan suatu peristiwa di satu tahun sebelumnya, dimana armada Alfonso d’Alburqueque berhasil menduduki bandar Malaka. Kedatangan armada de Houtman tersebut mengawali sebuah malapetaka besar bagi peradaban Nusantara, dengan mulai masuknya VOC (Vereniging Oost-Indische Compagnie) di kepulauan Nusantara. Kehadiran VOC berhasil memutarbalikkan kondisi yang ada pada saat itu. Secara ekonomi dan sosial-budaya, VOC berhasil mengubah paradigma kehidupan masyarakat Nusantara, dari yang tadinya ‘maritim’ menjadi ‘daratan’; dari yang terbuka menjadi isolasionis, hanya dengan kebijakan monopoli perdagangan. Masyarakat yang tadinya berdagang secara bebas (baca: perdagangan bebas) menjadi perdagangan yang dibebani dengan berbagai macam tarif (baca: diperas). Tak berhenti di situ saja. Secara politik, VOC juga melakukan politik becah belah (devide et impera) terhadap satu daerah dengan daerah lain di Nusantara. Lengkaplah sudah awal kemunduran peradaban Nusantara yang gemah ripah loh jinawi.


Namun kita tidak akan berhenti di situ. Pengurangan 500 selanjutnya menghasilkan angka tahun 1012, dan pengurangan 500 selanjutnya dari 1012 menghasilkan tahun 512. Jika kita kumpulkan, kita memiliki empat angka berturut-turut dalam urutan maju ialah 512, 1012, 1512, dan 2012. Jika tidak ada yang namanya kebetulan, empat angka tersebut melambangkan empat aktor sosial yang mengacu pada empat kasta pada agama Hindu, yaitu kelompok agamawan/pendeta, kelompok para raja/bangsawan, kelompok pedagang, dan kelompok rakyat jelata (baca: masyarakat sipil). Bukan juga kebetulan kalau empat kasta Hindu menjelaskan hal tersebut, oleh karena unsur-unsur Hindu banyak membangun baik peradaban Nusantara maupun ke-Indonesiaan, serta pernahnya corak Hindu mengikuti kekuasaan terbesar yang pernah berdiri di Nusantara ini, yaitu Majapahit.


Mengapa mesti 500? Singkatnya, 500, bilangan yang dalam salah satu pemfaktorannya terdiri dari 5 dan 100, merupakan angka yang memiliki makna tersendiri bagi peradaban manusia, khususnya masyarakat di Nusantara. Angka 5 merupakan jumlah yang dimanifestasikan dalam Pancasila, yang mana Pancasila bukan saja dasar bagi negara Indonesia modern, tetapi juga falsafah hidup yang telah berakar dari masyarakat Nusantara sejak ribuan tahun lalu. Unsur lima juga merupakan unsur0unsur falsafah hidup yang telah dikenal berbagai suku bangsa di Indonesia, dengan bahasa dan istilah mereka masing-masing. Angka 100 merupakan unsur yang tak terpisahkan dari peradaban manusia, khususnya masyarakat Nusantara. Selain merupakan bilangan puluhan dengan tingkatan pertama puluhan yang genap (baca: seimbang), angka 100 menempati beberapa perhitungan penting. Perhitungan satu abad terdiri atas 100 tahun lamanya. Tiap bilangan nominal satu pada setiap mata uang apapun selalu bernilai 100 sen. Rasanya terlalu banyak unsur 100 yang kita temukan di keseharian kita.


Berikut ini periodisasi dari empat bilangan yang tadi telah disebutkan


Pertama, tahun 512-1012, merupakan era para agamawan/pendeta. Pada era ini, agamawan/pendeta memiliki kekuasaan yang besar serta pengaruh tersendiri dalam peradaban di Nusantara. Kurang yakin? Tentu kita ingat tentang Prasasti Yupa dari Kerajaan Kutai (Kalimantan Timur). Prasasti tersebut menyebutkan bahwa pada era 500-an M ini, Raja Mulawarman, raja paling tersohor dari Kerajaan Kutai, mempersembahkan korban bakaran berupa dua puluh ribu ekor sapi bagi kaum Brahmana (baca: pendeta/agamawan). Hal ini dapat pahami sebagai suatu gambaran sejarah bahwa kaum pendeta/agamawan memiliki peran vital bagi lestarinya kekuasaan Kerajaan Kutai pada waktu itu. Hal yang serupa juga terjadi pada Kerajaan Tarumanegara (Jawa Barat) melalui Raja Purnawarman, yang mempersembahkan korban bakaran dengan motif yang sama. Pada contoh lain, Kerajaan Sriwijaya yang berdiri sekitar 800-an M juga menjadikan dirinya sebagai pusat pengajaran agama Budha, dengan mendirikan pusat pengajaran agama bagi para rahib Budha. Contoh lainnya lagi, kita tentu pernah mendengar cerita beberapa tokoh Resi dari kerajaan Mataram Kuno (saat ini Jawa Tengah-Yogyakarta). Para resi (guru, rahib, pertapa, orang sakti, yang fungsinya tak jauh beda dengan pendeta/agamawan) menempati fungsi dan peran penting di dalam struktur kekuasaan kerajaan Mataram Kuno. Tak ayal, inilah yang dapat menjelaskan pada kita mengenai perpindahan Mataram Kuno dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Para resi dan guru telah memperingatkan kerajaan tersebut untuk berpindah, sehingga kerajaan itu luput dari letusan Merapi tahun 1000 M.


Kedua, tahun 1012-1512, merupakan era para raja di Nusantara. Para raja memegang tampuk kekuasaan dari kerajaan-kerajaan besar. Tak ayal, di era ini kita dapat menemukan berdirinya kerajaan-kerajaan besar, seperti Kediri, Singasari, dan Majapahit. Kerajaan yang disebut terakhir bahkan merupakan satu-satunya kekuasaan yang mampu menyatukan seluruh wilayah Nusantara (dalam arti kepulauan Indonesia serta beberapa wilayah dan sekitarnya, mengingat Nusantara itu sendiri merupakan kesatuan wilayah kepulauan yang meliputi wilayah Indonesia saat ini dan daerah-daerah di sekitarnya). Pada era ini, para agamawan/pendeta tidak lagi memiliki pengaruh vital pada kekuasaan, oleh karena kerajaan-kerajaan pada waktu itu telah mengenal pemisahan negara dengan agama.


Ketiga, tahun 1512-2012, merupakan era para pedagang di Nusantara. Seperti yang telah diulas sebelumnya, sebuah serikat dagang swasta asal Belanda bernama VOC bahkan mampu mengendalikan kekuasaan serta urat nadi kehidupan ekonomi-sosial budaya bahkan politik di Nusantara. Kekuasaan dan juga keuntungan VOC yang sangat besar membuat Kerajaan Belanda kemudian ‘mengawal’ VOC dengan armada tentara. VOC menguasai Nusantara sampai ia bangkrut di akhir abad ke-18 akibat mismanajemen dirinya sendiri. VOC ambruk, perusahaan partikelir Belanda tumbuh seribu. Kita tentu dapat berkesimpulan, pemerintah kolonial Belanda yang terbentuk setelahnya, terutama setelah restorasi kolonial tahun 1816 (Pasca-Perang Napoleon) hanya merupakan perpanjangan tangan untuk melindungi kepentingan perusahaan swasta Belanda di Nusantara. Bagaimana dengan peiode setelahnya? Pada Pergerakan Nasional, peran pedagang tak bisa diremehkan. Kalau kita jeli, bahkan ada satu faksi pergerakan nasional yang basisnya ialah serikat dagang, yang kemudian menjadi alat politik dan perjuangan. Pada era Orde Lama, sebenarnya sikap Soekarno yang lebih condong ke blok Timur banyak dipengaruhi oleh lobi para pengusaha atau perusahaan dari negara-negara Timur, seperti Uni Soviet dan negara-negara satelitnya. Bagi yang jeli sejarah, pada era orde lama, kita dapat menemukan merek-merek mobil serta alat-alat lainnya buatan Rusia (Uni Soviet). Sepatu “Bata” yang sangat terkenal di mata kita ternyata awalnya merupakan perusahaan asing milik pengusaha Cekoslovakia. Pada era Orde Baru, Soeharto pun tak jauh beda, hanya kiblatnya saja yang berbeda, yaitu pada AS, Jepang, serta Eropa Barat. Pada era reformasi, kebijakan terkini pemerintahan SBY pada keran impor skala besar serta perdagangan bebas yang merugikan sebenarnya lebih banyak dipengaruhi lobi para pedagang yang menguasai sektor ekspor-impor, yang mana barang impor jauh lebih menguntungkan untuk mereka. Inilah 500 tahun era para pedagang


Keempat, 2012-2512, kita dapat niscayakan sebagai era masyarakat sipil. Ya, kekuasaan di Nusantara akan berada di tangan masyarakat sipil - maksud saya, banyak dipengaruhi oleh pergerakan masyarakat sipil. Pergerakan sosial ini juga merupakan respon terhadap berbagai kondisi terkini kehidupan umat manusia, termasuk juga yang terjadi di tanahair, seperti kerusakan lingkungan dan ancaman perubahan iklim, abainya pemerintah dan pengambil kebijakan, serta penghidupan yang kurang berpihak (baca: tidak berpihak) pada orang kecil dan masyarakat biasa. Kita dapat melihat sederet kreasi anak bangsa dalam mengembangkan kemampuan mereka sesuai keahlian mereka masing-masing bagi masyarakat di sekitarnya. Kreasi-kreasi tersebut tersebar mulai dari listrik swadaya tenaga mikrohidro, ekonomi kreatif hingga ide-ide serta terobosan yang inovatif lainnya. Kreasi-kreasi anak bangsa tersebut dikemas secara lebih komprehensif melalui apa yang disebut kewirausahaan sosial (social entrepreneurship). Contoh sudah terlalu banyak, tulisan ini rasanya terlalu panjang untuk menyebutkan siapa-siapa saja mereka dan apa saja bidang usaha mereka. Sepak terjang para pionir Indonesia tersebut juga diikuti oleh kehadiran orang-orang yang saya katakan ‘nyentrik,’ yang menawarkan teladan kepemimpinan yang lain dari arus utama. Terlepas dari citra atau bukan, pemimpin-pemimpin tersebut menampikan sosok yang sederhana, menolak beberapa fasilitas mewah yang berlebihan, berpihak pada publik, bahkan mau naik angkutan umum yang biasa dipakai masyarakat. Merekalah pionir-pionir yang berusaha mengubah arus utama yang selama ini membuat kita semua bosan dan, entah kehabisan kata apa dengan situasi yang ada.


Akhir kata, semoga saja prediksi saya ini tidak terlalu meleset, wallahualam. Kekuasaan yang ada di bumi Nusantara ini, semoga saja memang berada dan banyak dipengaruhi oleh realita yag ada dalam masyarakat Nusantara saat ini, yang ternyata juga mewakili kegelisahan masyarakat dunia saat ini mengenai bagaimana dan kemana kehidupan ini harus dilanjutkan. Semoga orang-orang yang seperti alinea di ataslah yang menjadi yang terdepan, dalam menentukan arah dan sejarah bangsa ini kedepannya, dan umat manusia pada umumnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline