Lihat ke Halaman Asli

Memoar tentang Uskup Sintang dan Sebuah Epilog tentang Perbatasan (Bagian III)

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebuah Epilog: "Gitu aja kok repot?"

Memoar ini kubuka kembali ketika ada berita di media nasional bahwa warga perbatasan di Kabupaten Sintang mengancam akan mengibarkan Bendera Malaysia pada 17 Agustus 2011 nanti karena sangat buruknya infratruktur jalan serta sarana dan prasarana kebutuhan hidup sehari-hari, dan itu semua mereka dapatkan dari Malaysia.

Memoar ini aku buka kembali, lalu kemudian kutambahkan di beberapa bagian agar dapat kubagikan dengan teman-teman semuanya. Berita tersebut rasanya telah mengingatkan saya pada memoar ini, sekaligus mengacu silang pada apa yang menjadi isinya.

Memoar tersebut dibuat bukan untuk tambah membuat kita semua panic ataupun terkejut. Memoar tersebut juga bukan ingin dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa aku bukan orang yang nasionalis. Aku enggan dikatakan nasionalis. Namun aku cinta bangsa ini, sama seperti teman-teman semuanya. Karena aku cinta dengan bangsa ini, aku ingin melihat dan menggali kedalaman bangsa ini beserta masalah-masalahnya, yang penuh dengan aneka macam warnanya, dan bukan hanya hitam atau putih saja.

Terima kasih untuk teman-teman yang telah meng-forward berita tersebut ke grup. Setidaknya, apa yang pernah diceritakan Uskup Sintang bukan fiksi belaka, namun memang terjadi demikian adanya. Itulah potret yang memang terjadi pada mereka di garis perbatasan sepanjang Kabupaten Sintang. Status dan romantisisme-nasionalisme semu mereka dapatkan dari Indonesia, namun perut dan tubuh mereka sebagai manusia-manusia yang hidup dan beradab ternyata malah dipenuhi oleh Malaysia. Justru, ada ucapan terima kasih yang harus kita ucapkan pada negara tetangga untuk dua hal. Pertama, terima kasih telah mau memasok pelbagai barang kebutuhan seperti listrik, air bersih dan sebagainya ke wilayah-wilayah perbatasan tersebut – sudah barang tentu dipasok, karena warga di sana pun membayarnya pula. Kedua, terima kasih pada negeri jiran tersebut, karena telah mengingatkan sekali lagi, betapa carut-marutnya kinerja para pengambil kebijakan di negeri nusantara yang kaya ini.

Kalau mau dirangkum, kita bisa menumpang pada kata-kata Alm.Gus Dur, salah satu guru bangsa kita, "Gitu aja kok repot?" Ya, kita memang tak perlu direpotkan untuk bersikap kelewat reaktif untuk menanggapi rencana pengibaran Bendera Jalur Gemilang oleh warga perbatasan tersebut. Tak perlu kita repot-repot sampai harus mengutuk negara tetangga Malaysia dengan tuduhan menganeksasi dan lain-lain; ataupun mengecam warga sepanjang perbatasan tersebut dengan tuduhan “tidak nasionalis.” Toh, wilayah teritori negara tidak akan terpengaruh drastis dengan peristiwa itu. Secara positif, justru kita pun dapat melihat hal tersebut sebagai ekspresi, seni untuk mengekspresikan kekecewaan yang mendalam hingga harus memakai simbol negara lain untuk mengungkapkannya...

Gitu aja kok repot? Ya, kata-kata itu sekaligus pas untuk para pihak yang merasa bertanggung jawab dan seharusnya memperhatikan persoalan tersebut. Bagi kita kaum muda dan pelajar, kita tak perlu repot-repot untuk hanya diam pada persoalan ini. Kita harus mau dan harus repot serta direpotkan untuk menyuarakan suara masyarakat daerah terdepan dan apa yang menjadi masalah krusial bagi mereka. Mereka bagian dari bangsa dan masyarakat nusantara, yang punya hak yang sama untuk terpenuhinya kebutuhan mereka yang mendasar.

Bagi pemerintah dan para pengambil kebijakan, tak perlu repot-repot untuk diam! Tak perlu repot-repot untuk bersikap seolah paling generalis dan nasionalis; tak perlu repot-repot hanya meminta TNI untuk menaruh personel-personelnya di perbatasan, lalu menganggap semua persoalan di sana dapat selesai, aman! Tidak! TNI pun juga manusia, bukan malaikat yang akan menyelesaikan persoalan di sana. Kalaupun TNI ditempatkan di sana, tempatkan mereka bukan sebagai pasukan yang mau ke medan perang memberangus musuh. Tempatkan mereka untuk bersama-sama dengan dan untuk mendukung masyarakat dalam membangun infrastruktur yang diperlukan warga setempat. Ini bukan bermaksud mengangkat romantisisme bahwa TNI akan seperti di era Orde Baru. Jika TNI dulu (ABRI) adalah alat pertahanan negara, sekaligus alat untuk ‘mengamankan’ pembangunan serta kekuasaan rezim, sekarang tidak lagi begitu. TNI memang kini lebih professional, menjadi seyogianya alat pertahanan negara. Namun tak bisa diingkari, tugas pertahanan yang dimaksud bukanlah tugas pertahanan dari aspek peperangan saja, namun juga aspek non-peperangan. Pada sejarahnya, TNI pun juga lahir dari rakyat. Termasuk untuk daerah terdepan, TNI akan bertugas lebih pada tugas non-militer, tentu dengan syarat jika pemerintah pusat dan daerah serius dan mau berepot-repot menyelesaikan persoalan minimnya pembangunan di daerah-daerah perbatasan tersebut.

Maka repot-repotlah para pengambil kebijakan, yaitu pemerintah pusat dan daerah, untuk berniat dan berusaha menyediakan anggaran dan memacu pembangunan infrastruktur di daerah terkait. Repor-repot demi kebaikan saudara sebangsa dan tanah air ibu pertiwi tentu tidak ada salahnya.

So, gitu aja kok repot?
Oleh: Yohanes Nindito Adisuryo

Rabu, 3 Agustus 2011

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline