Jumat lalu, saya diwawancarai Radio ElshintaSemarang terkait dengan tragedi Guru Budi. Dengan kesedihan mendalam, saya sampaikan ungkapan duka sebagai sesama guru. Begitulah guru: jasanya tiada terbilang, tetapi penghargaan jasanya sering dihutang. Penghargaan itu termasuk perlindungan terhadap profesinya yang memang sarat dengan potensi kekerasan, baik jadi korban maupun pelaku kekerasan.
Tak bisa disangkal, guru sering berhadapan dengan situasi dilematis di sekolah. Ketika menghadapi anak nakal di sekolah, setiap guru pasti ingin mendisiplinkan mereka. Ada tata tertib sekolah sebagai payung hukum.
Namun, guru sering mengurungkan niatnya ketika teringat dengan bahaya yang mengancam diri dan profesinya. Guru bisa dilabrak orang tua siswa, bahkan dilaporkan sebagai pelaku kekerasan di sekolah.
Banyak kasus yang akhirnya menjadikan guru sebagai pelaku kekerasan meskipun tindakannya jelas-jelas demi kebaikan anak-anak didiknya di sekolah. Daripada mengalami kejadian serupa, akhirnya guru mencari posisi aman: mendiamkan anak-anak nakal.
Jika mau jujur, anak-anak itu berbuat nakal tentu karena ada yang mempengaruhinya, baik langsung maupun tak langsung. Mungkin keluarganya, lingkungannya, tokoh idolanya, gurunya, bahkan pejabat di daerahnya.
Belum lama, kita disuguhi berita terkait dengan penampilan nyentrik seorang pejabat publik. Dengan santainya, pejabat itu mengucir rambutnya. Pejabat itu mungkin lupa jika ia menjadi pejabat publik, bahkan publik figur karena pernah jadi artis. Di sosial media, ada foto pejabat yang duduk di atas meja kantor bersama anaknya. Ada pula pejabat yang berdiri di atas kursi saat berbicara di depan massa. Terbaru, ada pejabat yang ditangkap KPK karena kasus korupsi. Penangkapan itu melengkapi sederetan oknum-oknum pejabat yang ditangkap dan dijebloskan ke penjara karena korupsi. Belum lama pula, ada video viral terkait dengan pejabat publik yang bertengkar saat pelantikan pejabat. Itulah gambaran, betapa langkanya keteladannya yang kurang baik disuguhkan kepada anak-anak.
Saat berhadapan dengan situasi seperti itu, guru pasti mengalami kegalauan. Apa yang mesti dilakukannya jika mendapati anak-anak yang meniru pejabat dengan perilakunya itu? Akan menanamkan karakter disiplin, tetapi ada pejabat yang justru berpenampilan kurang layak ditiru. Akan menanamkan karakter sopan, ada pejabat yang memberikan contoh buruk perilaku. Akan menanamkan hidup sederhana, ada pejabat berpenampilan glamor. Akan menanamkan karakter demokratis, tetapi ada pejabat malah bertengkar di depan umum. Mungkin pejabat publik itu belum memahami bila pengaruh negatif itu sangat mudah dan cepat ditiru daripada pengaruh positif. Perlu diingat, air itu mengalir ke bawah...
Jika kondisinya terus demikian, guru hanya bisa bergumam dalam hati, "Mudah-mudahan anak-anak bisa membedakan perilaku yang layak dan tak layak ditiru. Maafkan gurumu ya, Nak..."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H