Koran Joglosemar (Senin, 2 Mei 2016)
Sejak pemerintahan Presiden Joko Widodo, dunia pendidikan kita memasuki era baru, seperti ditundanya implementasi Kurikulum 2013 kecuali sekolah rintisan, lahirnya Direktorat Guru dan Tenaga Pendidikan (Dirjen GTK), diterapkannya Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) dan lain-lain. Kebijakan itu merupakan sikap akomodatif pemerintah terhadap suara masyarakat yang sering menyoroti dunia pendidikan.
Sayangnya, beragam kebijakan itu belum terlalu signifikan berpengaruh positif. Pada Seminar Nasional Pendidikan di Gedung DPR (Selasa, 26/4), Indra Charisniadji, menyatakan bahwa kualitas pendidikan Indonesia memang masih sangat rendah yang disebabkan oleh rendahnya kualitas guru. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) menunjukkan bahwa hanya ada 192 guru dari 1,6 juta guru yang memperoleh nilai di atas 90. Bahkan, nilai rata-rata UKG hanya 56.
Lucunya, justru terjadi kesenjangan rasio yang sangat jauh antara jumlah guru dengan siswa. Indra menjelaskan bahwa jumlah guru di Indonesia ada 3 juta orang. Dari jumlah tersebut, terjadi peningkatan guru sebanyak 823 % sejak tahun 1999/2000. Namun, peningkatan jumlah peserta didik justru hanya 17 %. Berdasarkan perbandingan itu, muncullah pertanyaan, apakah kenaikan siswa yang hanya 17 persen memerlukan guru sebanyak itu?
Terhadap kritikan di atas, kita tidak boleh kebakaran jenggot. Tentu semua pihak tidak mau disalahkan karena merasa telah bekerja sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya (tupoksi). Oleh karena itu, kita tidak perlu mencari kesalahan orang lain, tetapi kita perlu memberikan pandangan solusi sehingga situasi di atas dapat segera diatasi.
Dunia pendidikan memang “dunia lain” karena hasilnya tidak dapat diketahui masyarakat dalam sekejap. Dunia pendidikan adalah dunia investasi yang tak kasat mata. Oleh karena itu, faktor ini harus dipahami dahulu sebelum menghakimi dunia pendidikan.
Pendidikan adalah upaya penyadaran perilaku yang mencakup aspek afektif, kognitif, dan psikomotorik. Pendidikan afektif berbentuk upaya pengubahan perilaku perasaan sehingga perilakunya menjadi lebih baik. Pendidikan kognitif adalah upaya memberikan pengetahuan sehingga seseorang bias memahami sesuatu yang belum dipahami sebelumnya. Pendidikan psikomotorik adalah upaya memberikan keterampilan sehingga seseorang cakap mengerjakan sesuatu. Ketiga memerlukan waktu yang sangat lama dan guru yang mumpuni.
Mengurai Masalah
Masalah di atas tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Terlebih, saat ini, kita telah memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Dunia pendidikan menjadi salah satu segmen pasar yang tentu bias terpengaruh dampaknya karena guru-guru asing boleh bekerja atau mengajar di sini. Maka, lima alternatif solusi ini diharapkan bias membantunya.
Satu, lakukan perubahan undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan menteri yang membelenggu kreativitas guru. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, peraturan pemerintah, dan peraturan menteri perlu memperhatikan tugas utama guru, yaitu mendidik bukan hanya mengajar. Mendidik adalah memberikan contoh kepada peserta didik sehingga terjadi perubahan perilaku, sedangkan mengajar merupakan kegiatan pemindahan pengetahuan.
Agar bias mendidik peserta didik secara efektif, diperlukan pembatasan jumlah jam mengajar dan jumlah siswa. Namun, justru aturan-aturan itu memberikan batas minimal 24 jam mengajar per pekan dengan jumlah peserta didik minimal 20 orang. Bagaimanakah mungkin seorang guru dapat mendidik peserta didik yang berjumlah ratusan orang dalam rentang waktu yang sangat terbatas. Maka, justru kebanyakan guru beralih profesi dari pendidik menjadi sekadar pengajar.