Lihat ke Halaman Asli

Johan Wahyudi

TERVERIFIKASI

Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Nasib Sekolah Pinggiran

Diperbarui: 6 Agustus 2015   00:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh Johan Wahyudi

Guru SMP Negeri 2 Kalijambe, Sragen

 

SENIN (3 Agustus 2015), Koran Joglosemar memberitakan informasi perihal dugaan penitipan siswa baru ke sebuah sekolah favorit di Kabupaten Karanganyar. Dugaan penitipan siswa baru itu diketahui setelah beberapa siswa baru mengikuti Masa Orientasi Siswa (MOS). Ternyata jumlah siswa baru yang mengikuti MOS berbeda dengan jumlah siswa baru saat pengumuman Pendaftaran Peserta Didik Baru (PPDB)online. Dari sinilah dugaan terjadinya kecurangan PPDB terkuak.

Masa-masa PPDB saat tahun ajaran baru memang sarat dengan potensi kecurangan. Banyak orang tua bersusah-susah agar putra-putrinya dapat diterima di sekolah favorit meskipun prestasi akademik dan nonakademik terbatas. Orang tua tidak berpikir bahwa pemaksaan kehendak kepada anaknya dapat berakibat kontraproduktif. Anak akan tertekan secara psikologis dan sosial.

Karena nilainya di bawah standar, anak tersebut akan minder atau kurang percaya diri ketika bergaul dengan teman sebayanya. Akibatnya, anak tersebut akan mencari teman yang senasib. Maka, sekumpulan anak yang senasib itu dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang cenderung melanggar aturan atau nakal.

Pada kondisi yang demikian, seharusnya orang tua berpikir bijaksana. Mereka tidak perlu memaksa anak untuk menuruti keinginannya. Biarkanlah anak berinteraksi dengan anak sebayanya, baik umur maupun kemampuan    akademis dan nonakademisnya. Justru pemberian kepercayaan itu dapat membangkitkan motivasi kepada anak untuk berprestasi. Terlebih, orang tua memiliki daya dukung financial yang cukup. Dari sinilah sekaligus kita perlu berpikir untuk menyelamatkan sekolah-sekolah pinggiran yang kekurangan murid.

Ada ungkapan bijak yang menyatakan bahwa lebih baik menjadi gajah di kandang semut daripada menjadi gajah di kandang gajah. Ungkapan tersebut bermakna bahwa lebih baik menjadi pribadi yang mampu berprestasi tinggi meskipun berada di lingkungan sederhana. Percuma kita berada di lingkungan favorit tetapi tak satu pun prestasi mampu diraih.

Beberapa pekan lalu, sekolah disibukkan dengan program PPDB. Meskipun termasuk hari libur kenaikan kelas, sekolah harus menyiapkan perangkat Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) Tahun Pelajaran 2015/2016. Bagi siswa, kelulusan ini harus diikuti dengan mempersiapkan diri untuk bisa melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Bagi orang tua, kenaikan dan kelulusan ini berarti bahwa mereka harus menyediakan dana yang cukup untuk membiayai kebutuhan anaknya.

Di celah-celah kesibukan itu, muncul kekhawatiran di kalangan guru tentang pemerolehan siswa di sekolahnya. Guru-guru sekolah negeri pinggiran dan swasta resah karena mereka akan menikmati kondisi pahit seperti tahun-tahun sebelumnya. Situasi itu adalah kekurangan siswa di sekolahnya.

Sejak pemerintah menggratiskan biaya pendidikan melalui pemberian Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Dana BOS diberikan berdasarkan jumlah siswa di sekolah sehingga sekolah yang memiliki banyak siswa tentu akan mendapatkan dana BOS yang banyak pula. Maka, terjadilah ‘perang terbuka’ di kalangan sekolah negeri pinggiran dan swasta untuk mendapatkan calon siswa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline