Lihat ke Halaman Asli

Johan Wahyudi

TERVERIFIKASI

Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Mengajak Siswa Berpikir Kritis

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1426395569735318264

Oleh Johan Wahyudi

jwah1972@gmail.com

Beberapa waktu lalu, banyak media memberitakan peristiwa keracunan yang dialami oleh beberapa siswa di sekolah. Para siswa itu jajan makanan yang bebas dijual di sekitar sekolah. Karena pengawasannya kurang, kesehatan jajanan itu pun luput dari perhatian. Akibatnya, terjadilah peristiwa yang tentu sangat tidak diharapkan.

Berdasarkan peristiwa itu, ada tiga cara yang bisa digunakan guru atau sekolah untuk mencegah terulangnya peristiwa tersebut. Pertama, ajaklah para siswa berpikir logis. Di kelas, guru dapat menggunakan model kritis. Sebagai contoh, siswa diajak menghitung biaya produksi jajanan yang dijual murah itu.

Minuman gelasan dijual dengan harga seribuan sedangkan gelas plastik dibuat di pabrik yang melibatkan banyak karyawan, diedarkan dengan armada ratusan mobil, pabriknya menggunakan listrik dengan daya sangat tinggi, serta pabriknya dibangun dengan biaya sangat tinggi. Namun, mengapa jajanan itu dijual sangat murah? Jawabnya tentu bahan-bahan pembuatnya tidak asli alias dicampur dengan bahan-bahan kimia yang berharga murah.

Kedua, siswa diajak berpikir secara analogis atau pembandingan. Sebagai contoh, siswa diajak menghitung jumlah konsumsi minuman buatan itu. Banyak jajanan dan minuman yang menggunakan zat pewarna agar menarik pembeli. Lalu, para siswa diajak berdiskusi tentang akibat dari menyantap jajajan yang menggunakan pewarna itu. Caranya sangat mudah.

Para siswa ditanya tentang kebiasaan buang air besar dan kecil. Ketika buang air besar dan kecil, bagaimanakah bentuk dan warna kotoran? Jika sebelumnya makan dan minum dengan warna tertentu, lalu mengapa warna kotoran berbeda dengan warna manakan atau minuman yang pernah masuk ke perut mereka? Kemanakah zat pewarna itu? Tentu semua zat pewarna itu mengendap di perut kita. Coba dihitung jumlah zat pewarna itu jika para siswa sudah menyanyap makanan dan minuman itu selama bertahun-tahun. Maka, sangatlah wajar jika saat ini banyak siswa mengidap penyakit berbahaya karena telah menyantap makanan dan minuman yang mengandung zat berbahaya.

Ketiga, ajak berpikir ilmiah. Setiap sekolah tentu memiliki kantin sekolah. Di sana, dijual beragam jenis makanan dan minuman. Dari sekian banyak jajajan itu, para siswa diajak untuk memilih jajanan yang diketahui proses pembuatannya. Sebagai contoh, minuman es teh.

Para siswa diminta mencermati proses pembuatan es teh dari penjual. Mereka diminta mencermati air yang dimasak, pembuatan seduhan teh, dan pengambilan gula. Proses itu tentu berlangsung alami sehingga es teh itu akan terasa manis alami pula.

Selanjutnya, para siswa diminta membeli segelas minuman dalam kemasan. Lalu, air minuman kemasan itu dituangkan ke kertas atau lantai. Para siswa diminta mencermati perilaku-perilaku semut yang ada di sekitarnya. Jika minuman kemasan itu menggunakan gula alami, tentu semut akan mengerubunginya. Sebaliknya, semut akan menghindari minuman kemasan itu karena gulanya bukanlah gula alami. Di sinilah para siswa akan memiliki kesadaran untuk hidup sehat secara ilmiah.

Catatan: Artikel ini telah dimuat di Koran Solopos, 14 Maret 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline