[caption id="attachment_228725" align="aligncenter" width="640" caption="Suasana Pelatihan Penulisan Modul di Kalimantan Timur beberapa hari lalu."][/caption]
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan seyogyanya adalah menteri yang memberikan ruang kreativitas seluas-luasnya kepada jajaran dunia pendidikan dan kebudayaan. Untuk dunia pendidikan, dunia kreativitas itu diserahkan kepada tenaga pendidik dan kependidikan. Bagi tenaga pendidik dan kependidikan, kreativitas itu diwujudkan dalam beragam bentuk: membuat media pembelajaran, menyajikan alat peraga pendidikan, menulis beragam karya ilmiah (buku, modul, penelitian, artikel) dan beragam bentuk kreativitas lainnya. Bagi budawayan, kreativitas itu dapat diberikan dalam bentuk kebebasan mengekspresikan seni sastra, seni kriya, seni pertunjukan dan beragam bentuk kesenian lainnya. Jika kreativitas tenaga pendidik dan kependidikan berkolaborasi dengan budayawan, pastilah bangsa ini menjadi bangsa yang cerdas dalam balutan keluhuran budi dan keindahan seni. Lalu, apa jadinya jika Mendikbud justru mengamputasi kreativitas itu?
Memelajari rencana pemberlakuan Kurikulum 2013 beserta dengan beragam piranti pendukung lainnya, saya teramat geram dan juga “marah.” Bukan tanpa sebab melainkan beragam sebab menjadikan kemarahanku meluap. Bagaimana mungkin seorang Mendikbud lupa dengan beragam aturan lainnya yang menunjang karier guru? Mengapa Mendikbud justru mengamputasi kreativitas guru? Di manakah kebijakan kontraproduktif itu terlihat? Kebijakan yang tak bijak itu terlihat pada 3 tempat.
Buku
Mendikbud akan mendistribusikan buku secara terpusat. Itu berarti bahwa Mendikbud beranggapan semua situasi dunia pendidikan tanah air adalah sama. Jelas itu adalah pikiran konyol. Setiap buku pelajaran mestinya mengakomodasi potensi dan kearifan lokal. Jika buku itu berasal dari pusat (Jakarta), bagaimana mungkin anak-anak Papua akan mengenal Jakarta dan dapat menceritakan keindahan dan kemacetan Jakarta? Seharusnya anak didik Papua diberikan buku-buku tentang Papua yang dibalut dalam bentuk keseragaman Standar Isi dan bukan keseragaman isi. Jelas itu berakibat fatal!
Bertentangan dengan PermenPAN dan RB
PermenPAN dan RB Nomor 16 Tahun 2009 tentang Jabatan Fungsional Guru Dan Angka Kreditnya Pasal 8 menyebutkan bahwa Guru berwenang memilih dan menentukan materi, strategi, metode, media pembelajaran/ bimbingan dan alat penilaian/evaluasi dalam melaksanakan proses pembelajaran/bimbingan untuk mencapai hasil pendidikan yang bermutu sesuai dengan kode etik profesi Guru. Lalu, bagaimana mungkin guru dapat memilih dan menentukan materi sedangkan buku dikirim dari Jakarta? Apakah Mendikbud tidak membaca atau mengetahui PermenPAN dan RB Nomor 16 Tahun 2009 ini?
Mematikan Kreativitas Guru
PermenPAN dan RB Nomor 16 Tahun 2009 Pasal 13 menyebutkan rincian persyaratan kenaikan pangkat bagi guru dari Golongan IIIb ke IIIc dan seterusnya, yaitu menyusun kurikulum pembelajaran pada satuan pendidikan; menyusun silabus pembelajaran; menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran; melaksanakan kegiatan pembelajaran; menyusun alat ukur/soal sesuai mata pelajaran; menilai dan mengevaluasi proses dan hasil belajar pada mata pelajaran yang diampunya; menganalisis hasil penilaian pembelajaran; melaksanakan pembelajaran/perbaikan dan pengayaan dengan memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi; menjadi pengawas penilaian dan evaluasi terhadap proses dan hasil belajar tingkat sekolah dan nasional; membimbing guru pemula dalam program induksi; membimbing siswa dalam kegiatan ekstrakurikuler proses pembelajaran; melaksanakan pengembangan diri; melaksanakan publikasi ilmiah; dan membuat karya inovatif.
[caption id="attachment_228726" align="aligncenter" width="640" caption="Suasana Pelatihan Penulisan PTK di Belitong beberapa hari lalu."]
[/caption]
Tak banyak guru di Indonesia rajin menulis karya ilmiah, seperti menulis buku, modul, jurnal, artikel dan lain-lain. Jika buku harus dikirim dari Jakarta, bagaimanakah nasib buku-buku yang ditulis oleh guru sedangkan semua buku-buku itu sudah dinyatakan lolos penilaian oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)? Tergambar dengan sangat jelas bahwa Mendikbud justru memberikan ruang terbatas kepada pihak-pihak tertentu dengan penyeragaman buku dan membatasi kreativitas guru. Bagaimana mungkin seorang Mendikbud berpikir sedangkal itu!
Bagi guru, persyaratan kenaikan pangkat sebagaimana ketentuan dalam PermenPAN dan RB Nomor 16 Tahun 2009 sudah jelas menjadi penghambat sekaligus tantangan. Jujur saja, selama ini, rekan-rekan guru memang enggan menekuni kreativitas menulis. Namun, seiring informasi tentang persyaratan kenaikan pangkat yang mengharuskan terlampirnya karya ilmiah, semangat dan motivasi guru untuk menulis karya ilmiah tumbuh lagi. Kini, justru menteri yang seharusnya memberikan keluasan ruang bagi kreativitas guru malah memangkas, bahkan mematikan, ruang kreativitas itu. Kepada siapa lagi saya harus mengadukan nasib duniaku: dunia pendidikan?
Teriring salam,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H