Lihat ke Halaman Asli

Johan Wahyudi

TERVERIFIKASI

Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Guru yang Galau

Diperbarui: 24 Juni 2015   22:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pemberian tunjangan profesi atau yang biasa dikenal dengan sertifikasi guru telah memakan banyak korban. Begitu banyak guru terlempar karena tidak mampu mencukupi persyaratan jumlah jam mengajarnya, yaitu 24 jam per minggu. Korban terbesar adalah Guru Tidak Tetap (GTT) atau guru honorer. Begitu banyak guru honorer “dibuang” ke profesi lain, seperti petugas perpustakaan, mengajar nonlinear, bahkan menjadi pegawai tidak tetap (PTT). Kebijakan itu "terpaksa" diambil untuk menyelamatkan guru negeri (PNS) demi memenuhi jumlah jam mengajarnya. Situasi itu benar-benar membuat galau sang guru. Belum habis rasa galau itu hilang, guru dibuat makin galau lagi. Apa penyebabnya?

Beberapa waktu lalu, banyak media memberitakan bahwa banyak pelajaran di sekolah akan “diamputasi” dan dimerjer. Pelajaran yang akan diamputasi adalah bahasa Inggris di Sekolah Dasar (SD/ MI), IPA, dan IPS. Pelajaran yang akan dimerjer atau digabung adalah IPA dan IPS untuk dimasukkan ke dalam pelajaran lain. Untuk pelajaran IPA, sebagian materi dimasukkan ke pelajaran bahasa Indonesia dan Matematika. Untuk pelajaran IPS, materi dijadikan satu dengan pelajaran bahasa Indonesia secara tematik.

Sontak kabar itu membuat gerah alias kebingungan dan kegelisahan di kalangan guru. Beberapa organisasi guru serentak memprotes rencana tersebut. Melalui media on line, saat ini saya menemukan kegelisahan para guru itu. Secara serentak, mereka memprotes rencana itu. Menurut mereka, rencana itu akan mengancam tunjangan profesi yang pernah diterimanya sekaligus kariernya. Lalu, bagaimanakah kita bersikap atas rencana itu?

Secara pribadi, saya setuju dengan rencana itu. Saat ini, pelajaran anak sekolah (SD, SMP, SMA/ SMK) begitu banyak, yaitu sekitar 12 pelajaran dalam satu minggunya. Anak-anak dijejali beragam keilmuan sejak jam 07.00-13.00. Karena dijejali beragam ilmu tersebut, banyak siswa mengalami kegagalan dalam pembelajaran. Banyak siswa meraih nilai tak maksimal. Takut dikatakan sekolah gagal, sekolah (baca: pejabat pendidikan) mengambil kebijakan yang tak bijak: meLULUSkan yang tak layak diLULUSkan. Maka, kita kadang dibuat ketawa-ketiwi jika mendapati mutu kelulusan anak sekolah. Meskipun sudah lulus SMA/ SMK, nyaris mereka tak memiliki kompetensi apapun!

Berdasarkan kondisi di atas, agaknya Pak Mendikbud mulai menyadari kondisi di lapangan. Pak Mendikbud mulai berusaha menata kembali kurikulum yang berlaku. Maka, pada tahun 2013, Pak Mendikbud mewacanakan pemberlakuan kurikulum baru. Dan saya menyambut gembira dengan rencana itu. Mengapa?

Saya terinspirasi dengan kabar dari kawan yang mengajar di luar negeri. Di sana, pendidikan jenjang SD hanya dikenalkan sekitar 3 mata pelajaran, yaitu bahasa, budaya, dan matematika. Pendidikan jenjang SMP mulai ditambah menjadi 5 mata pelajaran, yaitu ilmu sosial, budaya, matematika, teknologi, dan IPA. Pendidikan jenjang SMA mulai diberikan pelajaran yang spesifik berdasarkan minat atau cita-citanya. Jadi, setiap siswa mungkin mendapatkan pelajaran yang berbeda dalam satu kelas. Ketika pelajaran A diajarkan, murid yang memilih program keahlian akan mengikuti dan murid yang tidak memilih program itu dibolehkan keluar. Hasil pendidikan model ini melahirkan lulusan yang luar biasa. Seorang anak yang baru berumur 18 tahun sudah menjadi pengacara ternama.

Telanjur bekerja dengan nyaman dengan tunjangan besar, jelas guru-guru kita kaget bukan alang kepalang. Mereka benar-benar terhenyak dengan rencana itu karena mereka tak menyadari bahwa dunia pendidikan itu berjalan sangat dinamis. Di mana-mana, guru-guru kita seakan enggan belajar dan memelajari keilmuan baru dengan beragam alasan. Karena itulah, mereka beramai-ramai menolak rencana itu secara membabi buta tanpa memertimbangkan kebutuhan nasib generasi bangsanya. Zaman sudah berubah sedemikian cepat tetapi guru-guru kita masih berjalan teramat lambat. Jika guru enggan berubah mengikuti perkembangan zaman, saya yakin kegalauan itu akan selalu ada.

Teriring salam,

Johan Wahyudi




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline