Lihat ke Halaman Asli

Johan Wahyudi

TERVERIFIKASI

Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Guru Boleh Kaya, Asal...

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Mungkin kisah Umar Bakri dalam lirik lagunya Iwan Fals cukup familiar di telinga kita. Digambarkan kondisi guru yang begitu memprihatinkan: naik sepeda onthel butut, tas kulit kumal, pakaian sederhana nyaris jarang dicuci, sepatu kulit lusuh, dan kopiah. Gambaran profesi guru nan begitu sederhana dan teramat kurang menarik. Mungkin tampilan guru-guru era 80an memang begitu. Tapi tidaklah sekarang.

Tadi pagi hingga sore menjelang, saya bertugas dinas ke kota. Kebetulan saya naik mobil teman karena ditawari. Sesekali saya ingin menikmati berkendara bersama-sama teman. Terlebih, semalam saya jagong manten di rumah sebelah. Jadi, saya masih merasa ngantuk dan terlihat kurang segar. Saya menganggapnya ini sebagai anugerah alias pucuk dicinta ulam tiba.

Kami serombongan tiba di kota agak terlambat. Ternyata sudah banyak tamu berdatangan ke tempat itu. Jadi, kami sempat kaget karena kami mengira dating lebih awal. Ternyata kami termasuk peserta yang dating belakangan. Tak apalah. Akhirnya, temanku yang menjadi sopir pun segera mencari posisi untuk memarkir mobilnya. Kami berlima sebagai penumpang turun dahulu.

Ketika saya menginjakkan kaki di lokasi itu, sungguh saya terpana. Sepanjang area seluas itu dipenuhi mobil-mobil bagus dan motor-motor terbaru. Saya tidak melihat mobil tua dan atau sepeda motor keluaran lama. Semua serba baru. Tahukah Anda, siapakah pemilik semua kendaraan itu? jawabnya tak lain adalah guru.

Ya, hari ini memang saya menghadiri sebuah acara yang dikhususkan bagi guru-guru khusus se-Kabupaten Sragen. Kami akan mengikuti sebuah seleksi kegiatan demi peningkatan mutu pendidikan di Kabupaten Sragen. Tidak tanggung-tanggung, Pak Bupati Sragen, Bapak AGus Fatchurrahman, berkenan membuka acara itu secara langsung. Jadi, acara itu benar-benar istimewa!

Pada awalnya, saya gembira menyaksikan semua penghuni parkiran tadi. Alhamdulillah, guru-guru sekarang sudah makmur. Rerata guru tidak lagi harus meng-onthel untuk menunaikan tugasnya sebagai guru. Guru sekarang bisa bermobil bagus atau bermotor terbaru yang suaranya nyaris tak terdengar. Wuzzz…wuzzzz….!!! Namun, sungguh saya menjadi sedih ketika sudah bertemu dengan beberapa kawan di ruang pertemuan. Apa sebab?

Guru Miskin Buku

Sebagai guru, hendaknya membaca menjadi sebuah hobi. Namun, saya tidak melihat satu orang pun menenteng buku. Rerata mereka justru menenteng HP terbaru dengan balutan dandanan khasnya. Jika saja mereka mau membeli buku, tentu mereka akan dikayakan ilmu. Dengan ilmu, tentu mereka akan menjadi guru professional yang benar-benar professional. Sayangnya, mereka kaya harta tetapi miskin buku.

Tak Punya Laptop

Jelas guru professional mendapat tunjangan satu kali gaji pokok. Bilangan angka yang lumayan membelalakkan mata. Siapa sih yang tidak suka duit banyak? Dan duit itu diberikan tanpa harus disertai dengan kerja keras. Setiap bulan, guru-guru yang konon disebut professional itu mendapat transferan uang. Sayangnya, mereka tidak berkehendak untuk membeli laptop untuk menunjang profesinya. Justru mereka berlomba-lomba menjaga penampilan fisik seraya bersolek. Sungguh ironis, guru professional masih menjadi peminjam laptop.

Banyak Bicara Miskin Karya

Karena pertemuan itu jarang diadakan, tentu suasana menjadi sangat ramai. Situasi nyaris mirip reuni. Antarkawan saling bersapa, bersalaman, berpelukan, dan berbincang-bincang. Maka, terjadilah obrolan-obrolan kosong tanpa isi. Mereka hanya sekadar berpamer tentang kesejahteraan yang telah meningkat. Mereka terlalu kaya dengan bicara, tetapi sama sekali tak bisa menunjukkan karya. Guru professional seharusnya berbicara dengan karya dan berusaha berbicara seperlunya.

Guru boleh kaya karena itu adalah hak azasi manusia asalkan kekayaannya diperoleh dengan cara halal. Jika guru sudah sejahtera, tentu mereka dapat bekerja dengan penuh kesadaran karena panggilan jiwa. Namun, sungguhlah ironis jika guru kini menjadi pemburu kekayaan materi. Kapan anak didiknya akan cerdas jika gurunya menjadi hamba uang?

Teriring salam,

Johan Wahyudi




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline