Lihat ke Halaman Asli

Johan Wahyudi

TERVERIFIKASI

Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Pak Mendikbud, Apa yang Harus Kami Perbuat?

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1335849156574705558

[caption id="attachment_185422" align="aligncenter" width="620" caption="Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhammad Nuh. (KOMPAS IMAGES/BANAR FIL ARDHI)"][/caption]

Dunia pendidikan kini menjadi magnet luar biasa. Semua orang begitu tertarik untuk menjadi bagiannya. Banyak sarjana nonkependidikan tertarik menjadi PNS di bidang pendidikan. Banyak guru tidak tetap bekerja meskipun tanpa dibayar. Dan begitu banyak orang berebutan mendapatkan murid. Tak lain karena dunia pendidikan merupakan departemen terkaya se-Indonesia. Dua puluh persen APBN telah menjadi haknya.

Ibarat ada gula ada semut, begitu banyak orang ingin mengeroyok gulanya. Masing-masing berusaha mendapat bagian. Setidaknya, bagian itu dianggap cukup sebagai modal hidup. Taruhlah sarjana nonkependidikan. Begitu sulitnya mendapatkan pekerjaan, akhirnya mereka mengambil jalan pintas dengan melintasi disiplin ilmunya. Tiba-tiba sarjana hukum ingin menjadi guru PKn. Tiba-tiba sarjana MIPA ingin menjadi guru matematika, fisika, biologi, atau kimia.

Bahkan, begitu banyak GTT mengantre untuk diperhatikan nasibnya. Mereka berduyun-duyun mengisi blangko atau formulir Kelompok Pendataan 2. Konon mereka akan diangkat menjadi PNS karena telah mengabdikan diri sejak 2005 atau sebelumnya. Bagi mereka yang terdata setelahnya, tak sedikit mereka mengambil jalan pintas seraya minta dibuatkan SK pengangkatan asli tapi palsu. Konon semua itu tidak diperoleh secara gratis.

Kabar terbaru adalah pencarian murid dan mahasiswa baru. Pusing saya berhadapan dengan begitu banyak tamu. Setiap hari puluhan guru dan dosen berdatangan ke lembagaku. Mereka disuruh pimpinan untuk mempromosikan sekolah dan kampusnya. Tak lain karena mereka ketakutan dan teramat ketakutan jika kampus dan sekolahnya tidak mendapatkan siswa dan mahasiswa.

Untuk memuluskan keinginannya, banyak sekolah dan kampus menawarkan beragam iming-iming. Bagi setiap siswa atau mahasiswa baru, kampus dan atau sekolah akan memberikan beragam fasilitas secara gratis, seperti seragam, beasiswa pendidikan, jaringan kerja, buku, dan tunjangan lainnya. Ibarat belum menjadi bagian sekolah atau kampus, mereka sudah berani mengobral kegratisan. Lalu, darimanakah mereka mendapatkan semua uang itu?

Jujur saja, saya menyangsikan kegratisan itu. Tidak ada barang gratis itu bermutu. Tidak ada barang bermutu itu gratis. Barang baik dan bermutu pastilah bernilai tinggi. Itu berarti bahwa sekolah dan kampus mestinya berkaca: mengapa sekolah dan kampusnya tidak dilirik calon siswa atau mahasiswa? Setidaknya jawaban itu adalah ketidakmutuan memang berada di dalamnya.

Pak Mendikbud, beginikah potret pendidikan kita? Beginikah kesangsian masyarakat terhadap lembaga pembentuk karakter anak bangsa? Beginikah kelakuan segelintir oknum bawahan Bapak? Dan teramat wajar jika mutu pendidikan kita kian meluntur karena memang dipimpin oleh oknum-oknum yang tidak berkualitas. Lalu, apakah Bapak akan membiarkan potret pendidikan itu terpampang di wajah Indonesia?

Bukan untuk menyombongkan diri, melainkan sekadar sharing. Saya selalu berusaha memberikan wejangan dan atau nasihat kepada anak didikku. Jadilah Anda berkualitas. Pintarkanlah dirimu karena ilmu akan menuntunmu menuju jalan hidup terbaikmu. Jika Anda pintar, Anda tidak perlu gelisah dan mengkhawatirkan masa depan. Kelak Anda pasti dicari meskipun ada bertempat tinggal nun jauh di pedalaman. Anda adalah mutiara yang terisolir nun jauh di pedalaman nurani kebanyakan orang.

Namun, saya pun bingung ketika ditanya satu di antara mereka, “Pak Johan, apa yang harus saya perbuat jika saya menjumpai kondisi itu?" Sekadar untuk menutupi rasa malu itu, saya hanya berujar, “Jawablah dengan nuranimu!”

Teriring salam,

JohanWahyudi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline