Lihat ke Halaman Asli

Johan Wahyudi

TERVERIFIKASI

Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Beragam Perubahan Perilaku Anak Sekolah Masa Kini?

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13273946531803723289

[caption id="attachment_165856" align="aligncenter" width="634" caption="Seakan anak sekolah sekarang merasa gengsi jika naik sepeda ke sekolah."][/caption]

Zaman benar-benar telah berubah dengan cepatnya. Sulit kita membendung kemajuan itu meskipun banyak dampak buruk mulai terlihat. Beragam polah anak terlihat kasat mata. Mereka tak lagi segan berbuat asusila meskipun dipandang ribuan mata. Dan beragam perbuatan lain kian menenggelamkan norma susila. Lagi-lagi, kita mesti mewaspadainya karena semua itu dapat berdampak buruk bagi diri, pelaku, keluarga, dan bangsa.

Pagi hingga siang ini, saya berusaha memerhatikan lingkungan sekitar. Saya terpukau dengan beragam polah anak sekolah masa kini. Banyak hal teramat cepat berubah dibandingkan zaman saya dahulu. Jika perubahan itu mengarah kepada kondisi positif, tentunya itu dapat menjadi berita baik. Namun, justru perubahan itu mengarah kepada sesuatu yang negatif. Oleh karena itu, marilah kita mencoba merenungkan kondisi itu sembari berusaha mengembalikan ketidakmapanan itu menuju kondisi yang lebih santun.

Naik Onthel vs Naik Motor/ Mobil

Perubahan jenis kendaraan benar-benar menggurita hingga pedesaan. Meskipun saya bertempat tinggal nun jauh di kampong, anak-anak atau pelajar masa kini nyaris tidak lagi naik sepeda angin atau onthel. Rerata anak sekolah masa kini memilih naik motor, mobil, atau justru memilih jalan kaki. Mereka sering merasa malu kepada temannya jika naik onthel meskipun tiada seorang pun memermalukannya. Jelas kondisi itu memerparah konsumsi BBM dan menambah kemacetan. Mengapa demikian? Karena saya mudah sekali mendapati anak SD sudah naik motor untuk pergi ke sekolahnya.

Belajar Kelompok vs Malas Belajar

Tadi saya sempat berdiskusi dengan beberapa anak sekolah. Lalu, saya menanyakan kebiasaan anak jika berada di rumah. Berapa jamkah mereka belajar dan berapa jamkah mereka bermain? Sungguh jawaban mereka teramat mencengangkan. Mereka hanya belajar jika esoknya diadakan ulangan dan banyak waktu dihabiskan untuk bermain-main. Mereka teramat jarang belajar kelompok karena tiada satu pun temannya juga mengajak belajar. Rerata mereka hanya belajar jika sudah dimarahi oang tuanya.

Mainan Tradisional vs HP

Teramat jarang anak masa kini mengenal permainan tradisional. Rerata mereka mengenal dan mahir memainkan jenis permainan masa kini. Mereka sangat lihat bermain play station (PS) atau HP. Bahkan, mereka begitu memiliki keinginan kuat untuk membeli beragam jenis game terbaru daripada berusaha memelajari jenis permainan dahulu. Maka, tak ayal jenis permainan tradisional kian ditinggalkannya. Teramat menyedihkan kondisi di atas!

[caption id="attachment_165863" align="alignleft" width="300" caption="Tak malu lagi pelajar sekarang berpacaran di tempat umum."]

1327395368418893590

[/caption]

Pacaran vs Pasangan

Anak sekolah sekarang mengenal istilah baru untuk berpacaran. Mereka tak lagi memanggil pasangannya dengan sebutan pacarmu. Mereka sudah menggunakan istilah bojomu atau suami/ istrimu. Saya tidak menyelidiki kasus ini lebih lanjut tentang penggunaan istilah ini. Saya hanya sering mendengar perkataan-perkataan anak-anak yang sering menyebut ungkapan pasangan.

Bekal vs Uang Saku

Semua anak sekolah pasti dibekali orang tuanya. Dahulu, anak sekolah sering membawa bekal dari rumah. Beragam jenis makanan dibawa dan dimakan bersama-sama temannya dengan bertukar makanan kala jam istirahat. Namun, anak sekolah masa kini terlihat enggan membawa bekal dari rumah. Mereka lebih suka membawa uang saku daripada membawa bekal meskipun terbuat dari makanan lezat dan bergizi. Pengaruh konsumsi makanan instan telah merasuk ke kehidupan anak sekolah.

---

Sekitar tahun 1977 hingga 1988, saya harus menggunakan sepeda onthel yang tidak memiliki slebor untuk bersekolah untuk menempuh perjalanan sekitar 15 km. Usai sholat ‘asyar, bergegas saya pergi ke rumah teman di lain kampong untuk belajar bersama-sama meskipun hujan mengguyur dengan derasnya. Ketika senggang, saya suka bermain benthic, bagshodor, petak umpet, dan permainan tradisional lainnya. Ketika menginjak remaja, begitu gembiranya hatiku jika bertemu dengan gadis pujaan meskipun tak mungkin bersentuhan tangan. Dan saya harus menerima bekal ketela rebus jika hari itu terdapat pelajaran olahraga. Tiada uang saku meskipun kadang saya ingin membeli sekadar es teh. Memang waktu tidak dapat diputar balik. Namun, apakah itu berarti bahwa kita akan membiarkan generasi kita kian tak terkendali?

Teriring salam,

Johan Wahyudi

Sumber gambar: Sini




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline