Lihat ke Halaman Asli

Johan Wahyudi

TERVERIFIKASI

Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Kamu Boleh Bunuh Saya

Diperbarui: 26 Juni 2015   01:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Bel masuk kelas baru saja berbunyi. Sang guru pun masuk kelas untuk memulai pelajaran.  Setelah memandu doa pagi dan mengabsen para siswa, sang guru membuka pelajaran. Pagi ini, sang guru akan mengevaluasi pekerjaan rumah yang pernah diberikan pada hari sebelumnya.

“Selamat pagi, Anak-anak. Pagi ini, kita akan mengoreksi pekerjaan rumah yang pernah Bapak berikan kemarin. Semua sudah siap?” tanya sang guru lantang sambil memandang ke seluruh kelas.

“Siap, Pak” jawa para murid.

“Baiklah. Nanti, siswa paling kanan depan memberikan pekerjaannya kepada siswa di sebelah kirinya. Begitu seterusnya. Saya hitung, ya” ujar sang guru.

Di pojok kelas, tiga anak lelaki sedang clingak-clinguk seperti kehilangan sesuatu. Ulah ketiga siswa itu menarik perhatian sang guru. Lalu, sang guru pun mendekatinya.

“Pekerjaanmu mana, Wo?” tanya sang guru tegas. Wibowo, panggil saja demikian, hanya tertunduk.

“Kamu juga. Mana pekerjaanmu, Ndi?” tanya sang guru kemudian. “Juga kamu. Mana PR-mu, Wan?”

Ketiga anak itu menundukkan kepala. Mereka tidak berani menatap muka sang guru. Lalu, sang guru pun berjalan ke depan kelas.

“Anak-anak. Kamu tidak boleh meniru Bowo, Andi, dan Iwan. Ketiga anak itu tidak mengerjakan PR yang mestinya hari ini dikoreksi bersama-sama. Kamu bertiga, keluar kelas. Kerjakan PR sambil berdiri di depan pintu!perintah guru dengan suara lantang.

Dan ketiga anak itu pun berjalan menuju pintu sambil menenteng sebuah buku tulis dan buku paket. Sambil berdiri, ketiganya mengerjakan PR. Sementara, sang guru langsung memimpin pengoreksian PR secara bersama-sama. Satu setengah jam kemudian, bel pergantian pelajaran berbunyi. Sang guru pun menutup pelajaran pagi itu dengan salam.

“Kamu bertiga, ikut saya ke kantor!” perintah sang guru. Ketiga anak itu pun mengikuti langkah sang guru menuju ruang guru di ujung sekolah.

----

“Berapa kali kamu tidak mengerjakan PR? Coba kalian hitung. Setiap  kali saya memberikan PR, selalu saja kamu tidak mengerjakan PR. Memang kamu mempunyai kesibukan apa sehingga kamu tidak dapat mengerjakan PR? Saya memberikan PR kepadamu agar kamu mau belajar. Bukan untuk memberatkanmu!” terang guru sambil memandang tajam kepada ketiga anak itu. “Lihat buku nilai ini. Lihat. Berapa kali kamu tidak memasukkan nilai? Apa kamu tidak ingin naik kelas?”

Suasana ruang guru itu pun sepi dan hening terhanyut oleh ucapan-ucapan sang guru. Rekan-rekan guru pun terdiam karena memaklumi tindakan sang guru. Sang guru terus memandang tajam kepada ketiga anak itu. Dan ketiga anak itu hanya memainkan kakinya sambil sesekali saling bersikutan.

“Kalau kamu sudah membenciku sebagai gurumu, kamu boleh membunuhku. Seratus sepuluh kilometer saya tempuh setiap hari demi mengajarmu, tetapi kamu justru bermalasan. Di sebelah barat sekolahan kita ini, ada hutan, ‘kan? Nah, kamu bisa mencegatku usai pulang sekolah” bentak sang guru jengkel. Dalam catatan guru itu, ketiga anak itu memang seakan sengaja tidak mengerjakan tugas-tugas yang diberikannya. Bahkan, seakan-akan ketiganya menantang sang guru karena mereka ditakuti teman-temannya. Dapat dimaklumi, ketiganya memang memiliki bodi yang tinggi- besar.

“Sekarang, kamu bertiga saling bertukar jawaban. Silakan kamu koreksi pekerjaan temanmu dengan kunci jawaban yang saya berikan ini. Kerjakan tugas ini dengan jujur. Saya mau mengajar kelas lain” terang sang guru sambil menyerahkan kunci jawaban.

----

“Halo. Ini Pak Johan, ya?” tanya seorang lelaki dari seberang.

“Ya, saya. Ini siapa?” tanya sang guru.

“Saya Bowo, Pak. Wibowo, mantan murid Bapak” ucap penelepon.

“O, Bowo. Ada apa, Mas Bowo?” tanya sang guru sambil membetulkan HP-nya.

“Makasih ya, Pak. Saya sangat berterima kasih karena Pak Johan pernah galak sama saya. Sekarang saya jadi TNI di Kalimantan, Pak” jelas penelepon sambil terus-menerus tertawa-tawa kecil.

“Ya sudah. Selamat, ya. Jangan jadi tentara nakal seperti SMA dulu” nasihat sang guru sambil menutup pembicaraan itu. Kebahagiaan guru cukuplah mendengar kabar bahwa anak didiknya sudah menjadi orang sukses. Guru tak pernah berharap balas budi dari sang murid: sedikitpun!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline