Lihat ke Halaman Asli

Johan Wahyudi

TERVERIFIKASI

Guru, Pengajar, Pembelajar, Penulis, Penyunting, dan Penyuka Olahraga

Kejujuran Berbuah Ketidakjujuran

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Usai mem-posting tulisan berjudul Buah Kejujuran, HP-ku berdering berulang-ulang. Isi SMS itu ada yang bertanya, "Benar nih ceritanya, Pak?" Ada juga tulisan berbunyi, "Rasain lu karmanya." Dan tulisan-tulisan lain. Saya tersenyum simpul membaca SMS ketidakjujuran itu.

Jika mau jujur, kita akan berhadapan peristiwa itu setiap saat. Kita sering membeli sesuatu. Lalu, kita sering mencicipi barang jualan itu tanpa minta keikhlasan penjualnya. Kita sering menganggap itu sebagai bonus. Bahkan, ketika pesanan itu sudah siap, kantong kita masih minta diisi. Katanya, untuk anak-anak. Dan seabreg perilaku negatif lain.

Di keluarga, suami atau istri kita sering membawakan oleh-oleh. Kita tidak pernah bertanya tentang asal-usul makanan itu. Kita menganggap bahwa makanan itu memang untuk kita. Lalu, kita menyantapnya dengan lahap.

Ketidakjujuran telah begitu mendarah daging di kehidupan kita. Perilaku itu sedemikian kuat melekat dan seakan  telah menjadi penyakit kronis yang sulit disembuhkan. Kita pun hidup nyaman dengan sang penyakit.

Saya jadi teringat dengan nasihat ayah (almarhum) saya sewaktu sakit. Karena tidak dapat mengantarnya ke rumah sakit, saya  hanya membawakan roti bolu kesukaannya. Roti itu saya letakkan di antara termos (tempat air) dan tas (tempat pakaian). Melihat itu, ayahku bertanya, "Yud, kuwi opo?" (Yud-panggilan ayah ke saya dari kata Wahyudi, itu apa). Saya pun menjawab, "Sekedhik kagem konco wonten rumah sakit." (Sekadar untuk teman di rumah sakit). Lalu, ayahku berusaha berdiri dan beranjak mendekatiku. Setelah mendekatiku, ayahku menamparku. "Kowe oleh ko ngendi roti larang iki?" (Kamu dapat dari mana roti mahal ini?) Dan saya pun menangis. Saya sampaikan kepada beliau bahwa roti itu adalah oleh-oleh dari teman yang pernah saya bantu. Saya katakan kepada beliau bahwa saya tidak membelinya.  Dan ayahku pun berkata, "Awake dhewe luwih becik mati kaliren daripada nyolong." (Kita ini lebih baik mati kelaparan daripada mencuri).

Sekelumit kisah hidup di atas menjadi bagian termahal selama hidupku. Ayahku begitu bagus mendidik anak-anaknya. Ayahku selalu mengajarkan anak-anaknya agar berperilaku jujur meskipun sering berbuah hancur.  Ayahanda, berbahagialah engkau di surga-Nya. Anakmu akan berusaha untuk berteguh hati di jalan kejujuran. Semoga Allah berkenan. Amin. (www.gurumenulisbuku.blogspot.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline