Oleh Johan Wahyudi
Ketua IGI Soloraya
Mulai tahun pelajaran 2015/2016, pemerintah akan memberlakukan dua kurikulum yang berbeda di semua jenjang pendidikan dasar dan menengah, yaitu Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013. Kurikulum 2006 akan diberlakukan di sekolah nonrintisan implementasi Kurikulum 2013, sedangkan Kurikulum 2013 akan diberlakukan di 6000an sekolah rintisan.
Kebijakan ini sontak membuat perasaan guru tak karuan. Akan tercipta suasana kurang mengenakkan karena penerapan dua kurikulum di jenjang yang sama meskipun di sekolah yang berbeda. Beragam perasaan tidak nyaman itu akan terlihat pada terjadinya tiga perubahan sikap, yaitu perasaan lebih baik, rebutan jam mengajar, dan timpangnya perhatian.
Pertama, perasaan lebih baik. Di kalangan guru, akan muncul perasaan bahwa guru di sekolah dengan penerapan Kurikulum 2013 akan dianggap sebagai guru yang lebih baik daripada guru di sekolah yang kembali menerapkan Kurikulum 2006. Bahkan, perasaan berlebihan itu berpotensi menimbulkan ejekan atau sindiran ketika guru-guru bertemu.
Kedua, rebutan jam mengajar. Karena Kurikulum 2006 kembali diterapkan, beberapa mata pelajaran akan dikembalikan. Kondisi ini akan memicu persoalan baru, yaitu jumlah jam mengajar. Dahulu, guru sudah tercukupi jam mengajarnya ketika Kurikulum 2013 diterapkan. Begitu keputusan implementasi kurikulum baru ini dicabut, guru harus ngemis jam mengajar ke sekolah lain. Pada situasi ini, guru akan teramat malu dan kembali terombang-ambing karena harus mencari jam mengajar ke sekolah lain demi memenuhi kewajiban 24 jam mengajar per pekan. Guru itu akan merasa dibuang dari sekolah induknya karena dikalahkan oleh guru senior.
Ketiga, timpangnya kebijakan. Karena Kurikulum 2013 memerlukan dukungan sarana dan prasarana yang lebih banyak dan lengkap, persoalan ini dapat dijadikan alasan sekolah untuk mencari tambahan biaya kepada orang tua siswa. Di sinilah akan terjadi ketimpangan perhatian pemerintah. Sekolah dengan Kurikulum 2013 boleh menarik iuran kepada orang tua siswa, tetapi sekolah dengan Kurikulum 2006 dilarang. Jelas kemudahan ini akan memantik persoalan baru, baik bagi guru, kepala sekolah, dan masyarakat.
Terjadinya dualisme kurikulum di semua jenjang pendidikan dasar dan menengah ini harus disikapi dengan bijak oleh semua pihak. Pemerintah harus bersikap adil seraya tidak menganakemaskan sekolah dengan Kurikulum 2013 dan menganaktirikan sekolah dengan Kurikulum 2006. Pemerintah harus memantau impelementasi sekolah dengan Kurikulum 2013 agar tidak hanya pasang papan nama. Selain itu, pemerintah juga harus memberi penyadaran kepada guru dan sekolah tentang terjadinya dualisme implementasi dua kurikulum ini untuk menekan kegelisahan,
Bagi guru, situasi transisi ini harus dijadikan momen untuk mawas diri. Guru adalah pelaksana kebijakan pemerintah sehingga harus taat dan tunduk dengan kebijakan pemerintah. Guru harus melaksanakan perintah undang-undang agar pelaksanaan pendidikan berjalan lancar. Demi menggapai itu, antarguru harus dibangun jiwa sosial yang tinggi agar tidak terjadi kecemburuan sosial. Jika kesadaran dan jiwa besar itu dimiliki, dampak negatif pergantian kurikulum takkan mungkin terjadi.
Catatan: Artikel di atas telah dimuat di Koran Solopos, Sabtu, 10 Januari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H