[caption id="attachment_391357" align="aligncenter" width="640" caption="Guru sering dijadikan tumbal kebijakan yang tak bijak."][/caption]
Oleh Johan Wahyudi
Ketua IGI Soloraya
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Profesionalismenya itu harus diwujudkan dalam bentuk kepemilikan 24 jam mengajar per pekan yang dilengkapi dengan bukti fisik perangkat pembelajaran sebanyak 20 jenis.
Tuntutan profesionalisme guru di atas telah memberangus hak siswa untuk mendapatkan perhatian. Saat ini, di sekolah, guru lebih berperan sebagai pengajar daripada pendidik. Jika memiliki waktu luang, kebanyakan guru memanfaatkannya untuk mengurusi administrasi. Guru terpaksa memilih aktivitas itu karena Penilaian Kinerja Guru (PKG) didasarkan bukti fisik. Jika guru tak bisa menunjukkan bukti fisik, Tunjangan Profesi Guru (TPG) bias dicabut.
Di sekolah, guru memiliki tugas lain selain mengajar. Ada guru yang menjadi wakil kepala sekolah, wali kelas, pembimbing ekstrakurikuler, Pembina OSIS, Pramuka, bendahara BOS, kepala laboratorium, kepala perpustakaan dan lain-lain. Ketika berada di tengah kesibukan tugasnya, tak banyak pihak menaruh simpati dan empati kepada guru. Bahkan, banyak orang tua siswa tak mau tahu tugas sampingan itu. Ini adalah kesalahan fatal memaknai pendidikan.
Esensi pendidikan adalah pengubahan perilaku berdasarkan norma tertulis dan tak tertulis. Para siswa berada di sekolah tak lebih dari 6 jam dari 24 jam sehari. Itu berarti bahwa guru hanya bertanggung jawab 25% dari alokasi waktu. Maka, guru pasti menjaga para siswa dengan disiplin tinggi di sekolah. Untuk memantapkan kedisiplinan itu, dibuatlah Tata Tertib Sekolah. Hasilnya sungguh mencengangkan. Betapa baiknya perilaku para siswa itu di sekolah.
Kondisi akan berubah 180 derajat ketika para siswa pulang. Para siswa akan berperilaku sebagaimana lingkungannya, baik lingkungan keluarga, masyarakat, dan pergaulan sebaya. Keluarga adalah cermin karakter anak yang sangat dipengaruhi oleh karakter orang tuanya. Karakter itu makin terlihat ketika anak berkumpul dengan lingkungan sekitar dan pergaulannya. Karakter makin terbentuk ketika anak sudah mengenal internet yang memberikan beragam pengaruh negative buruk. Sayangnya, beragam pengaruh ini belum dipahami masyarakat.
Betapa tidak adilnya jika guru selalu disalahkan akibat semua perilaku buruk yang dilakukan para siswa. Ketika para siswa melanggar disiplin di sekolah, guru pasti bertindak untuk mencegahnya. Karena anak terlalu nakal, kadang guru melakukan tindakan kekerasan yang masih berada di batas kewajaran. Sayangnya, justru tindakan guru itu menjadi bumerang. Beberapa guru justru dilaporkan oleh orang tua karena dianggap menyakiti anaknya. Akhirnya, guru angkat tangan dan tak lagi ada guru yang berani mencubit, menjewer, atau memukul siswa.
Seharusnya masyarakat dan dinas pendidikan memahami tugas berat guru. Semua perilaku siswa merupakan pelampiasan dari segala pengaruh yang didapat dari luar. Guru pasti memiliki keterbatasan jika harus mengamati perilaku ratusan siswa. Maka, masyarakat mestinya memahami tugas-tugas guru dan tidak memojokkan guru sebagai tersangka. Sungguh tak ada satu pun guru tega menganiaya siswanya sendiri.
Catatan: Artikel ini telah dimuat di Koran Solopos, 17 Januari 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H