Jakarta, kini marak jadi buah bibir bangsa, ketika wacana kembali muncul untuk pindah, hiruk pikuk pro dan kontra, kau tetap membisu.
Kenangan indah tak terlupa kala sang pangeran Fatahillah merubah namamu Sunda Kelapa jadi Jayakarta, dua puluh dua juni seribu lima ratus dua puluh tujuh, kau kesohor sejagad kota pelabuhan nan sibuk, pedagang Cina, India, Arab dan Eropa berbarter disana,
Kau pun tetap membisu, kala Jan Pieterszoon Coen memberi julukan Batavia, meminjam nama nenek moyang Belanda Batavieren, di tahun seribu enam ratus sembilan belas,
Bentukmu unik ketika dibangun, terlihat berbentuk blok-blok, dipisahkan kanal, dilindungi dinding bak benteng dan parit-parit disana-sini. Bangunan baru itu selesai tahun seribu enam ratus lima puluh.
Kau makin cantik dan kesohor, bahkan orang-orang asing menyebutmu Permata Dari Timur.
Ketika pemerintahan Jepang tiba tahun seribu sembilan ratus empat puluh dua, namamu kembali jadi Jakarta.
Jakarta, ibu kota negara kita, pusat pemerintahan, pusat perekonomian, menjadi magnit orang daerah mengunjungimu bahkan tinggal disana.
Fenomena macet, banjir, kriminalitas, kerusuhan tak jadi persoalan bagi penduduk mu, mereka tetap tinggal dan bekerja.
Itu artinya mereka tetap mencintaimu, apapun yang akan terjadi, seperti bait lagunya koes plus.. ke jakarta aku kan kembali...walupun apa yang kan terjadi...
Jakarta, aku mencintai mu
Dirgahayu Jakarta 492, 22 Juni 2019.