Hari ini 5 Oktober adalah Hari Guru Sedunia yang diperingati sejak 1994. Ada baiknya refresh sejenak untuk mengenang peran guru yang tak lekang dimakan waktu.
Sosok guru yang pertama kukenal adalah ibu dan ayahku, mereka berdua adalah guru lulusan SGB --pendidikan guru setingkat SMP tahun 60-an. Oh betapa belianya bilio ketika kali pertama menjadi guru, usia belasan.
Ayah, bagiku adalah guru serba bisa karena selain mengajar sehari-hari juga menjadi petani dan seniman tradisional. Sebagai petani pernah mendapat penghargaan di tingkat daerah bahkan di level nasional.
Lagi mudanya ayah adalah pengurus himpunan perternak domba (HPDI). Ayahlah yang pertama merintis peternakan ayam negeri --ayam ras sekarang, di kampung dengan kandang sistem batere yang terbuat dari bambu.
Sedangkan dalam bidang kesenian Ayah adalah penabuh kendang dalam pertunjukan wayang golek, penari dan pemain sandiwara. Juga terampil dalam membuat anyaman, dan ukiran. Sebagai guru Bahasa Indonesia, ayah telah memberiku karunia sebagai penyuka sastra sejak kanak-kanak.
Sementara Emak -ibuku juga guru yang hebat karena kemampuannya melahirkan bayi tak kurang dari 9 kali, mulai dari kakak, aku, dan seluruh adik-adik nyaris tanpa bantuan medis yang memadai.
Di sela-sela kesibukan sebagai guru, Emak telah merawat kami yang lahir beruntun pada periode 1962 sampai 1975. Kami semua lahir pada era sebelum dan sesudah pemberontakan G 30 S/PKI yang terkenal itu.
Dalam situasi ekonomi yang tidak menentu Ema membesarkan kami dengan penuh telaten dalam haru biru. Tapi tetap asik. Hebatnya di usianya yang sudah sepuh, 82 tahun saat ini Ema tetap merawat kami, merawat dengan doa.