Selagi kanak-kanak aku sering bertikai dengan abangku. Kadang hanya karena persoalan sepele semisal berselisih perkara pembagian kue yang dirasa tidak sama besarnya sehabis dipotong-potong nenek untuk dibagi berdua. Sekali waktu berebut pakaian yang diambil dari kawat jemuran. Masing-masing mengklaim baju itu sebagai miliknya. Emak sering membelikan baju untuk kami dengan model dan corak yang sama. Tinggi dan berat badan kami berdua yang hampir sama membuat emak membelinya dalam satu ukuran saja. Beruntung emak pandai mengatasi perselisan soal pakaian ini. Diambilnya pakaian yang diperebutkan itu dari tangan kami kemudian menciumnya. Ia tahu bau badan seluruh anaknya yang berbeda-beda. Tidak pernah meleset, setelah mengetahui milik siapa baju itu segera akan memberikannya kepada salah satu diantara kami.
Sering aku merasa jengkel dengan abang karena aku sering disuruhnya ini itu. Aku tak bisa menolak karena aku junior, adiknya. Tetapi sebegitu seringnya aku berkelahi ke mana-mana kami selalu bersama. Main kelereng, main layang-layang atau mencari kayu bakar ke hutan di ujung kampung selalu bersama. Tidur pun sekamar, bahkan. Selalu bersama seperti gula dengan manisnya membuat kami memiliki ikatan emosional yang kuat.
Sekali waktu aku menonton sirkus dari Malaysia di kota kabupaten bersama abang. Sejauh yang aku tahu, baru sekali itu di kotaku ada pertunjukan sirkus dari luar negeri pula. Bersama abang aku menumpang oplet ke kota untuk menonton sirkus.
Di Lapang Pesik -lapangan sepak bola, di belakang terminal angkutan umum tempat berdiri tinggi tenda sirkus itu ratusan orang berdesakan di pintu masuk. Aku bersama abang membeli karcis masuk di loket penjualan tiket tak jauh dari pintuk masuk. Lalu bergabung dengan antrian panjang orang-orang yang tak sabar ingin segera menonton sirkus.
Menjelang pintu masuk aku mengacungkan karcis seperti ditunjukkan orang-orang lain agar mudah terlihat. Di pintu masuk berdiri laki-laki tinggi besar yang bertugas memeriksa tiket masuk. Pemeriksaan tiket masuk membuat arus orang yang akan masuk ke tempat pertunjukan menjadi tersendat. Terjadi desak-desakan antara orang-orang yang ingin segera masuk dengan petugas tiket masuk yang menghalangi jalan.
Aku dan abangku yang kecil-pendek kelas 4 dan 5 SD tenggelam dalam lautan manusia. Persis di depan laki-laki tinggi besar itu selembar kecil kertas tiket terjatuh dari tanganku. Sementara itu abangku yang beruntung sudah bisa masuk ke arena pertunjukan aku tertahan di luar dihadang petugas tiket. Telunjuknya yang sebesar pisang ambon mendorong keluar tepat di bagian leherku. Terasa sesak napasku. Tetapi aku terus meronta, merangsek masuk karena merasa sudah membeli tiket. Akhirnya dengan susah payah, melalui celah di bawah ketiaknya aku berhasil lolos dan masuk ke arena pertunjukan.
Sesampainya di dalam aku celingukan, tak tampak abangku diantara ratusan orang yang berdesakan itu. Tiba-tiba tanganku dijawil orang. Aku terkejut dan sepontan menolak tarikan tangan itu. Sejurus kemudian aku tersadar rupanya tangan kecil itu adalah tangan abangku. Ketika aku masih di luar abangku berdiri tak jauh dari pintu masuk menungguku. Kami pun segera menghambur berlari kecil mencari bangku yang kosong. Seketika itu tangisku pecah.
Di tribun yang terbuat dari papan kayu itu di samping abang yang terdiam tak bisa berbuat banyak aku menangis sesenggukan. Perasaanku bercampur aduk antara marah, benci dan takut kepada laki-laki tinggi besar penjaga pintu masuk itu. Aku menyesal karena tiketku terjatuh, mengapa aku tak memegangnya erat-erat.
Tangisku mulai mereda ketika seorang gadis cantik gemulai memakai pakaian senam yang ketat meliuk-liuk di meja kecil mendemontrasikan gerakan sangat elastis. Gadis plastik merupakan penampilan pembuka pertunjukan sirkus itu. Tangisku lalu berubah menjadi tawa menyusul aksi kocak badut-badut dengan baju warna-warni dan penutup kepala yang lucu. Pada saat menyaksikan hewan-hewan sirkus beraksi aku tak henti bertepuk tangan. Lupa dengan laki-laki tinggi besar di pintu masuk yang nyaris melukaiku. Pipiku kering tak ada lagi bekas air mata. Selesai menonton sirkus aku pulang bersama abang, kembali menumpang oplet dengan perasaan gembira.
Ketika abang melanjutkan kuliah aku terpisah dengannya selama satu tahun. Ia kos di Bandung sementara aku tinggal di Kuningan bersama orang tua. Tahun berikutnya aku pun menyusul melanjutkan kuliah di Bandung dan tinggal bersama abang.
Awalnya aku kos di Dago karena kuliah di Fakultas Peternakan Unpad yang kampusnya di kawasan Dago atas. Tetapi, hanya sebulan aku merasa tidak betah, akhirnya bergabung dengan abang di Buahbatu.