Lihat ke Halaman Asli

Cinta dalam Reaksi Kimia #3

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita sebelumnya, baca disini Kamu kemudian fokus pada buret di depanmu. Erlenmeyer di tangan kananmu. “Menurutmu cinta itu seperti apa?” pertanyaanmu akhirnya meluncur. Bola panas itu akhirnya kau lemparkan padaku. Aku berpikir sejenak, “Mmm, cinta itu... reaksi kimia,” “Hebat!” teriakmu bersamaan dengan berubahnya warna larutanmu dari bening jadi merah muda. “Sahabatku satu ini sudah jadi pujangga sekaligus saintis rupanya.” Kamu meletakkan erlenmeyer lalu bertepuk tangan kegirangan seolah aku baru saja menemukan teori baru. Kamu berlagak Archimedes yang berteriak eureka! “Tolong dijelaskan maknanya, Profesor!” Kamu menggoda. “Ya, seperti reaksi kimia. Ciri-cirinya terjadi perubahan suhu, perubahan warna, timbul endapan, dan terbentuk gelembung.” Jelasku panjang lebar. “Mari kita bahas satu per satu. Kenapa pada cinta terjadi perubahan suhu?” ajakmu. Kamu mengubah obrolan ini jadi simposium ilmiah. “Cinta akan membuat penderitanya terserang panas dingin. Janji kencan pertama akan membuatmu insomnia, lalu masuk angin karena begadang semalaman. Rasanya panas dingin, bukan? Belum lagi kalau terserang hipotermia.” “Keren!” Serumu. “Kalau perubahan warna?” Aku berpikir sejenak, “Orang yang sedang jatuh cinta pipinya selalu tersipu-sipu.” Kamu menatapku, seperti menunggu sesuatu, “Gitu doang?” Aku mengangguk. “Selain itu, cinta juga punya kekuatan untuk membuat hari-harimu yang muram menjadi berwarna. Hari ini biru, besok merah jambu, lusa barangkali jadi hijau.” “Hari ini aku ungu!” katamu. “Janda?” “Ungu itu lambang berduka tauk!” katamu ketus. “Ungu itu grup band!” Kamu tertawa, aku tertawa. (Bersambung) ___________




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline