Memasuki era abad 21, masyarakat dunia kian dihadapkan dengan permasalahan sosial yang kian hari kian kompleks. Mengapa demikian? Residu perang dunia pada abad 20 rupanya menciptakan permasalahan sosial jangka panjang yang tak ayal dapat diselesaikan hanya oleh pemerintah suatu negara saja, yaitu kemiskinan. Berbagai organisasi sosial dunia dari negara-negara maju ikut turun tangan menangani masalah permanen ini. Bank Dunia mengklarifikasikan penduduk miskin dengan mengakumulasikan pendapatan harian penduduk tersebut. Ketika individu membiayai hidupnya kurang dari USD 1 per hari, maka ia digolongkan sangat miskin. Dan jika individu berpenghasilan USD 2 per hari, Bank Dunia mengkategorikan sebagai miskin. Merunut pada Deklarasi Kopenhagen, penduduk akan dikategorikan miskin absolut jika tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya. Kebutuhan dasar tersebut mencakup pemenuhan akan makanan, air yang laik pakai, sanitasi, kesehatan, dan pendidikan.
Kemiskinan. Satu kata yang memiliki beragam definisi bagi banyak orang dengan perspektif mereka masing-masing. Pengukuran orang miskin dibagi ke dalam dua standar besar; miskin absolut diukur dari kemampuan memenuhi kebutuhan kalori harian, sedang miskin relatif diubahsuaikan berdasarkan standar hidup di masing-masing negara. Maka jangan samakan miskin orang Indonesia dengan Amerika Serikat, karena keduanya memiliki standar hidup yang berbeda. Indikasi kemiskinan telah berkembang tak hanya ditinjau dari aspek ekonomi, tetapi juga memperhatikan indikator sosial-budaya, hukum, serta politik. Pengukuran kemiskinan pun menghasilkan perbedaan data diantara berbagai lembaga. Ketika lembaga A mendapatkan data A, dan lembaga B mendapatkan B, data keduanya mungkin berbeda karena memiliki satuan pengukuran berbeda. Namun pendefinisian kemiskinan masih begitu minim karena telalu disimpulkan pada pemenuhan kebutuhan hidup individu.
Masyarakat hidup dan berkembang secara linier. Perkembangan ini merupakan purwarupa penyempurnaan dari perkembangan sebelumnya, hingga inovasi berjalan terus-menerus tanpa hingga. Pada dunia yang sebagian besar menjunjung kapitalisme saat ini, kreativitas juga kepemilikan modal menjadi kunci utama dalam meraih kekayaan. Wajar saja apabila fenomena penjajahan ekonomi secara kasat mata terjadi di negara berkembang—sebagai negara penyedia buruh berupah murah, sumber daya alam yang digarap asing, sekaligus pangsa pasar konsumtif. Merujuk pada histori sendiri, memang negara berkembang (didominasi negara-negara Asia-Afrika) kalah memulai start pada saat era kolonialisme dimulai. Revolusi industri di Inggris yang merembet ke negara-negara Eropa lapar akan sumber daya alam yang akan diolah industri, berikutnya menghasilkan ekspedisi penjelajahan negeri-negeri benua biru dengan semangat 3G, lalu melebarkan sayap kekuasaannya mengeksploitasi negeri-negeri timur. Walau pun zaman sekarang negara-negara maju saling bahu-membahu membantu negara berkembang, kenyataannya mereka berupaya mendistorsikan penjajahan era modern: membanjiri pasar negara berkembang dengan produk industri mereka.
Di Indonesia, proses percepatan pembangunan pasca kemerdekaan dimulai ketika Presiden Soeharto membuka keran investasi asing untuk menyusupi berbagai sektor, juga program Repelita. Pembangunan ini diawali ketika Perang Dunia 2 berakhir yang merupakan pertarungan antar ideologi di dunia, akan tetapi berlanjut ke orde lama hingga akhirnya peristiwa G30S/PKI pecah. Secara resmi, ideologi komunis-sosialis yang berporos pada kesamaan rasa dan pemerataan pembangunan ikut berakhir. Maka yang tersisa hanyalah kapitalisme yang berujung pada ketimpangan sosial dari orde baru hingga sekarang, bahkan cenderung liar berasas neoliberal. Kesalahan pembangunan dalam orde baru yang terlalu sentralis ini tidak memberikan kesejahteraan pada masyarakat luar Jawa sehingga pemerataan kesejahteraan tidak terwujud.
Pemerintah Indonesia sejatinya telah mengadakan banyak program untuk mengentaskan kemiskinan. Fatalnya, program-program ini tidak mendidik masyarakat kelas bawah untuk mengubah arah nasib hidup mereka, justru menciptakan ketergantungan terhadap bantuan pemerintah. Model bantuan dana langsung untuk rakyat membuat masyarakat miskin lebih suka menadah bantuan pemerintah. Tak seharusnya bantuan berupa hasil instan, alangkah lebih baik apabila pemerintah memberikan modal bagi masyarakat agar dapat produktif menjaring keuntungan untuk kesejahteraan pribadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H