Pelayanan sosial secara harfiah dapat berarti sebagai suatu tindakan yang produktif dalam mengalokasikan sumber daya untuk diberdayakan dalam meningkatkan kesejahteraan umum. Definisi bermakna luas inilah yang mengadung implikasi bagi proses perumusan, implementasi serta evaluasi bagi aspek kehidupan sosial. Jenis barang apa yang akan diproduksi, lalu didistribusikan kemana dengan target siapa menjadikan pelayanan sosial tak ubahnya sebuah produk yang ditawarkan oleh perusahaan—butuh perencanaan matang dan spesifik agar tepat sasaran.
Sumberdaya sosial dalam masyarakat memiliki nilai vital sendiri dalam keberlangsungan hidup suatu komunitas. Setidaknya ada 5 aspek yang perlu disiasati pemerintah agar produktivitas ekonomi masyarakat dapat merangkak naik: pendidikan, perumahan, pekerjaan sosial, jaminan sosial, dan kesehatan. Mengapa kelima aspek ini perlu diperhatikan? Kelima aspek yang turut menyokong sumberdaya sosial ini mampu mendorong kesejahteraan ke arah yang lebih cemerlang. Karena pergerakan kurva kesejahteraan sosial hampir selalu paralel dengan petumbuhan ekonomi, maka apabila kelima aspek di atas dapat dipenuhi, potensi capaian kesejahteraan lebih mudah diraih.
Peran pemerintah yang utama yakni harus mampu menjamin bahwa ketersediaan sumberdaya sosial bersama dengan masyarakat. Mengapa? Karena pertama, Indonesia sebagai negara yang tengah berkembang secara linier mengalami berbagai gejolak perubahan sosial yang apabila ketidakstabilan itu terus dibiarkan, bangsa ini dapat terjerumus ke dalam keterbelakangkan atas kerentanan sosial yang tak terpulihkan. Kedua, sumberdaya sosial yang baik mampu memperbaiki taraf hidup secara nyata. Hal ini semakin dipertegas bahwa kualitas hidup tidak dapat berpatokan hanya kepada pertumbuhan ekonomi semata. Ketiga, sumberdaya sosial berusaha meratakan kehidupan ekonomi-sosial masyarakat. Bentuk ketimpangan ini terlihat pada takaran relasi hubungan antar individu, seperti kekayaan, kekuasaan, dan sebagainya. Oleh karena itu, diperlukan pelayanan sosial berbasis pendekatan yang menitikberatkan kemandirian, potensi serta partisipasi umum.
Perlu diketahui bahwa pelayanan sosial di Indonesia belum terselenggara secara optimal. Penggunaan pendekatan yang belum tepat dalam mengindentifikasi masalah sosial menjadi faktor yang cukup fatal. Peranan pemerintah yang secara konstitusional hanya mengintervensi melalui kebijakan sosial memiliki tanggungjawab paling besar dalam pelayanan sosial, dan hanya mampu menyediakan fasilitas pelayanan sosial ketika situasi berada dalam kondisi darurat. Seringkali program pelayanan sosial yang dicanangkan salah sasaran, atau setidaknya dimanfaatkan sebagai ‘pembentukan citra’ ketimbang memperhatikan pengembangan masyarakat apabila pemerintah menjalin kooperasi dengan perusahaan (dengan program CSR-nya). Hal ini menjadikan intervensi pemerintah sebagai sesuatu yang tabu karena peranan perusahaan jauh lebih dalam melebarkan sayap korporasinya.
Ketika sebuah perusahaan mencanangkan program CSR, maka citra positif perusahaan terkait akan terbangun. Masyarakat akan condong untuk lebih memperhatikan kinerja perusahaan yang bergerak dalam bidang sosial—yang sekaligus mencari publisitas tersendiri. Pelbagai aksi perusahaan ini dikhawatirkan dapat mengubah arah kebijakan pemerintah dalam pengadaan pelayanan sosial karena arah distribusi yang karikatif. Motif pencitraan terkadang menjadi latar belakang suatu perusahaan yang berusaha untuk memanipulasi kinerja mereka, dan menutupi apa yang sebenarnya tengah terjadi di balik layar. Belum lagi program CSR yang rupanya didasari oleh semangat menaikkan harkat-martabat perusahaan daripada melayani masyarakat.
Setelah meninjau berbagai kelemahan model pelayanan sosial dewasa ini, terasa begitu vital untuk dapat mencari model pelayanan sosial yang mampu lepas dari jeratan karitatif serta lebih berimbang dan berkeadilan. Keadilan yang berimbang menurut John Rawls dibangun atas dua prinsip: kesetaraan, serta pemerataan. Pertanyaan berikutnya, bagaimana cara mengaplikasikan konsep keadilan ini?