21 Mei 1998, perjuangan panjang mahasiswa untuk menurunkan sang diktator dari kursi kekuasaannya membuahkan hasil. Pak Harto memutuskan untuk mundur dari jabatan presiden. Namun, apakah itu akhir dari masalah? Belum. Indonesia masih dalam keadaan krisis ekonomi yang parah.
Kekuasaannya digantikan oleh seorang profesor dibidang teknik aeronautika bernama B.J. Habibie.
Kepintaran beliau dalam bidang teknik sudah tidak perlu diragukan, beliau juga telah mendapatkan pengakuan dari mancanegara. Namun, yang dihadapi beliau bukanlah krisis teknologi, melainkan krisis ekonomi yang tidak bisa dipecahkan oleh ahli ekonom pada rezim sebelumnya. Kenaikannya pun diremehkan banyak pihak, baik dari dalam negeri, maupun dari luar negeri. Perdana menteri pertama Singapura, Lee Kuan Yew pernah meremehkan Habibie dan mengatakan bahwa rupiah akan terus melemah hingga lebih dari Rp16.000 kalau Habibie menjadi presiden.
Saat itu, memang kondisi ekonomi Indonesia sedang gawat. Tapi beberapa tahun sebelumnya, ekonomi Indonesia sedang jaya-jayanya. Dalam 6 tahun terakhir, Ekonomi Indonesia tumbuh rata-rata 7% setiap tahunnya. Hal ini dipicu dengan banyaknya investasi asing yang masuk ke Indonesia antara tahun 1990 hingga 1996. Namun, di tengah jaya-jayanya perekonomian Indonesia, ada celah yang tak terlihat oleh pemerintah.
Celah Perekonomian Indonesia tahun 90-an
Indonesia saat itu menganut sistem nilai tukar tetap atau fixed exchange rate. Contohnya, rupiah dipatok dengan dollar di harga 2000 per dollar. Kalau nilai rupiah turun, pemerintah akan membeli rupiah menggunakan dollar dari cadangan devisanya. Sebaliknya, jika rupiah naik, pemerintah akan beli dollar menggunakan rupiah. Hasilnya adalah nilai dollar tetap di angka 2000 rupiah per dollarnya.
Sebenarnya sistem ini bagus karena akan memberikan stabilitas dan kepastian bagi eksportir, importir, investor asing, maupun konsumen. Cuma masalahnya pada waktu itu adalah beban cadangan devisa Indonesia terus bertambah beberapa tahun sebelum 1997. Hal ini dikarenakan adanya peningkatan impor yang besar karena produk dalam negeri yang kalah saing. Sementara itu, Ekspor masyarakat Indonesia tidak berkembang.
Karena banyak masyarakat yang lebih membutuhkan dollar daripada rupiah sementara kurs rupiah menggunakan sistem nilai tukar tetap, nilai rupiah jadi overvalued.
Melihat hal ini, pemerintah ingin agar uang masyarakat dan investor asing tetap berada di dalam negeri, sehingga ditingkatkan lah suku bunga. Tujuannya adalah agar masyarakat dan investor asing tetap mempertahankan uangnya dalam bentuk rupiah dan diinvestasikan di perbankan.
Ini yang menjadi blundernya pemerintah kala itu.
Kenaikan suku bunga ini malah menyebabkan para pengusaha dalam negeri pinjem di bank luar negeri karena suku bunga luar negeri lebih rendah, sehingga pinjam di bank luar negeri jadi lebih murah daripada di dalam negeri.