Lihat ke Halaman Asli

Johan Japardi

Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

WSP: Membantu Sekaligus Mempermalukan

Diperbarui: 6 September 2021   23:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Poster WSP. Sumber: www.wsp.org

Naluri seorang pengamat membuat saya tidak berhenti hanya sampai penayangan artikel tentang Lik Telek: Go International: Lik Telek dari Indonesia yang dengan jelas menunjukkan teknik mempermalukan (shaming technique) dengan memberi label orang dengan obesitas: "malas", orang dengan penyakit mental: "gila," dan karena kurangnya sanitasi (Lik Telek): "menjijikkan."

Ini zaman apa?
Kenapa orang-orang tertentu belum menyadari bahwa semua manusia itu memiliki hak azasi yang sama?
Kenapa mereka masih belum meninggalkan praktik-praktik kolonialisme di tengah belum terkikis sepenuhnya mentalitas taklukan (subservient mentality) segelintir orang yang bahkan tidak langsung mengalami praktik-praktik itu?

Mentalitas seperti ini bahkan meninggalkan bekas dalam transkripsi dialek Hokkien, yang belum diperbaharui sampai sekarang dan masih menggunakan sistem yang disesuaikan dengan telinga orang Inggris dan menimbulkan segudang kerancuan sekarang ini, lihat artikel saya: Kunci Transkripsi Dialek Hokkien Dipegang oleh... Bahasa Indonesia.

Penggalian informasi saya tentang Lik Telek (dari nama ini saja saya sudah merasa tidak nyaman) membawa saya ke proyek sanitasi di Jawa Timur di tengah semangat desentralisasi dan partisipasi dalam konteks pascareformasi, dan menemukan penggunaan teknik mempermalukan untuk mempromosikan sanitasi yang lebih baik dan untuk mengakhiri buang air besar sembarangan.

Program untuk mempromosikan sanitasi telah ada sejak zaman kolonial. Teknik menimbulkan rasa malu di kalangan masyarakat tentang buang air besar sembarangan pada 1999 berkembang dari pendekatan mobilisasi sosial ke pengembangan masyarakat yang diberi nama Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (Community-Led Total Sanitation/CLTS) yang dilakukan di Bangladesh oleh Kamal Kar, bekerja dengan LSM lokal dan internasional.

CLTS sekarang menjadi pendekatan yang luas dan umum digunakan dalam sanitasi pedesaan dan pinggiran kota dan dipromosikan sebagai cara untuk membantu pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Millennium Development Goal/MDG) dalam bidang sanitasi, yang kemajuannya lambat.

Teknik ini awalnya dipromosikan oleh LSM dan beberapa pemerintah negara berkembang telah mengadopsinya, dan kemudian penyebarannya menjadi lebih cepat terutama karena dukungan dari donor utama, khususnya Bank Dunia.

CLTS adalah teknik kunci dalam komponen sanitasi dari Program Air dan Sanitasi (Water and Sanitation Programme/WSP) yang didanai oleh banyak donor dan dipimpin oleh Bank Dunia, yang beroperasi di 25 negara.  

Di Indonesia, WSP telah memproduksi materi pemasaran sosialnya sendiri yang dibintangi oleh seorang tokoh bernama Lik Telek, yang secara kasar diterjemahkan sebagai "Paman Tahi."

Lik Telek seorang yang miskin, cacat fisik, kotor dan "menjijikkan" dan sangat mirip dengan karakter bernama Kromo dalam salah sebuah film yang diproduksi oleh program Rockefeller di Indonesia, meskipun keadaan Kromo tidak separah Lik Telek.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline