Lihat ke Halaman Asli

Johan Japardi

Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Sayangi Lingkungan, Bersihkan Bumi dengan Mengurangi Emisi

Diperbarui: 26 Agustus 2021   10:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Emisi dan pemanasan global. Diadaptasi dari: The Economist, August 14th 2021, hlm. 9.

Bukan Melulu karena CO2
Sejauh ini, kita dengan jelas mengetahui bahwa Karbon dioksida (CO2) merupakan penyebab utama perubahan iklim, namum, metana juga harus kita waspadai.

Headline dari pernyataan terbaru Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel on Climate Change/IPCC) tentang sains fisika perubahan iklim adalah sebuah temuan bahwa, bahkan jika dunia berhasil memangkas emisi melebihi yang dijanjikan oleh para pemerintah, masih “lebih mungkin daripada tidak” bahwa temperatur bumi akan menjadi 1,5°C lebih hangat pada sekitar 2050 dibandingkan dengan akhir abad ke-19!

Temuan itu penting dan menakutkan, tetapi tidak mengejutkan. Tujuan untuk mentoleransi kenaikan temperatur dunia yang tidak lebih dari 1,5°C, yang disepakati di Paris tahun lalu, adalah salah satu komitmen yang sangat dalam dari banyak negara, terutama negara-negara pulau kecil di mana kenaikan permukaan laut merupakan sebuah ancaman eksistensial. Akan tetapi, banyak pengamat yang percaya bahwa kesepakatan itu sangat dekat ke titik ketidakmungkinan.

Sebuah kesimpulan lain dalam laporan IPCC mungkin menjadi berita bagi banyak orang. Jika emisi CO2 adalah satu-satunya cara manusia untuk mengubah iklim, maka kenaikan temperatur sebesar 1,5°C sudah akan terjadi.

Karena itu, emisi lain yang dihasilkan oleh manusia juga penting. Di antara emisi yang paling penting adalah aerosol-aerosol sulfat, yaitu partikel-partikel kecil yang dihasilkan oleh pembakaran batubara dan beberapa jenis minyak yang mengapung di udara, yang mencemari paru-paru, membunuh jutaan orang, dan, juga, dengan memantulkan sinar matahari yang masuk, mendinginkan bumi.

IPCC menganggap bahwa senyawa-senyawa sulfat itu telah memberikan pendinginan netto sebesar 0,4-0,5 °C sejak akhir abad ke-19, yang menjadi sebagian besar alasan mengapa periode itu hanya mengalami kenaikan temperatur sebesar 1,1 °C.

Akan tetapi, pengaruh senyawa-senyawa sulfat sudah semakin berkurang. Untuk meningkatkan kualitas udara, dan dengan demikian menyelamatkan nyawa, sekarang belerang dihilangkan dari hampir semua bahan bakar cair pada tahap pemurnian dan dibuang melalui cerobong pembangkit listrik tenaga batubara, bahkan di China.

Pembersihan udara ini menghilangkan sebagian dari pendinginan yang berbahaya. Pengurangan yang cepat dari penggunaan bahan bakar fosil akan menghilangkan sisa belerang dan ironisnya malah membuat efek CO2 yang sudah ada di atmosfer terasa lebih tajam.

Pada 2006, Paul Crutzen, seorang kimiawan atmosfer terkemuka, menyarankan bahwa mungkin ada cara untuk menyelamatkan paru-paru orang sambil menjaganya tetap dingin. Di atmosfer yang lebih rendah, di mana industri melakukan pembuangan, partikel-partikel sulfat berumur pendek.

Akan tetapi, di stratosfer, partikel-partikel sulfat bertahan lebih lama. Dengan demikian, penempatan lapisan partikel-partikel sulfat yang relatif jarang ke dalam stratosfer bisa memberikan jumlah pendinginan yang sama seperti kabut-kabut asap di atmosfer yang lebih rendah, tanpa menimbulkan bahaya secara langsung.

Intervensi Crutzen itu mendorong minat baru pada gagasan untuk secara sengaja mengganggu sinar matahari yang masuk, sebuah kemungkinan yang dikenal sebagai "geoenjiniring surya." Ini adalah sebuah minat yang diwaspadai oleh IPCC. Geoenjiniring surya tidak memiliki peranan dalam skenario-skenario yang digunakan untuk membicarakan tentang iklim masa depan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline