Dalam bahasa Indonesia ada peribahasa "Tepuk dada tanya selera" yang dimaknai sebagai "Pertimbangkan segala sesuatu sebelum melakukan suatu pekerjaan."
Bak sebuah neraca, keseimbangan terjadi di antara 2 sisi, "dada yang ditepuk" dan "selera yang ditanya."
Ini berpotensi menimbulkan masalah, karena dalam bahasa Indonesia kita juga mengenal "nilai rasa." "Nilai rasa" tentunya berkelindan dengan "selera" dan selama kita memiliki selera yang sama akan nilai rasa itu, masalah tersebut tidak muncul ke permukaan.
Contoh: Dimensi
Kata sifat "dalam," kata benda "kedalaman," nilai yang dirasakan banyak orang masih sama, "Kedalaman sungai itu hanya beberapa meter."
Tapi begitu kita memasuki kata sifat "tinggi," kata bendanya, "ketinggian," mulai menimbulkan nilai rasa yang berbeda. Ada yang memaknai ketinggian sebagai:
1. "Ukuran tinggi," misalnya "Ketinggian kota Jonggol adalah 68 meter di atas permukaan laut," dan ada pula yang memaknainya sebagai:
2. "Kelewat tinggi," misalnya "Jangan ketinggian menaruh harapan kepada seseorang, karena kalau dia tidak bisa memenuhi harapanmu, engkau akan lebih kecewa."
Makna kedua kalimat di atas masih bisa kita serap dengan mudah, itulah nilai rasa masing-masing kalimat menurut konteksnya.
Namun, begitu kita memasuki kata sifat "panjang" dan "lebar," makna kalimat ke-2 sudah lebih memagut, coba renungkan.
Akibatnya, kita menggunakan kata panjang dan lebar sebagai kata sifat sekaligus kata benda: "Panjang dan lebar meja itu masing-masing 1 meter dan 0,8 meter."
Nilai rasa mengalihkan penggunaan kata-kata, yang jika kita ikuti kaidah dasarnya (pembentukan kata benda dengan menambahkan imbuhan ke- dan -an pada kata sifat) seharusnya: "Kepanjangan dan kelebaran meja itu masing-masing 1 meter dan 0,8 meter." Logika kalimat ini jadi lebih sulit diserap bukan?