Lihat ke Halaman Asli

Johan Japardi

Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Begawan Tjiptadinata Effendi: Tidak Ada Kata "Pensiun" dalam Kamus Kami

Diperbarui: 8 Agustus 2021   21:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Begawan Tjiptadinata Effendi. Diadaptasi dari tangkapan layar dari TJIPTADINATA EFFENDI.

Kata "begawan" saya pilih karena menurut saya lebih memagut ketimbang "maestro," istilah Italia untuk kata Inggris "master" yang oleh pengguna bahasa Inggris sendiri dirasakan kurang memagut sehingga mereka mengadopsi istilah "guru" dari bahasa Sansekerta.

Tanpa saya cantumkan, kata maestro itu sudah terintegrasi dengan nama Tjiptadinata, atau pak Tjipta atau opa Tjipta. Terkait kata opa, boleh jugalah kita menggunakan istilah "eyang kakung," dan dengan demikian bisa mengaplikasikan "eyang putri" untuk Ny. Tjiptadinata Effendi yang menggunakan nama Roselina Tjiptadinata di Kompasiana.

Coba telusuri sendiri nama sang begawan ini di Kompasiana dan Anda akan tahu siapa beliau. Jika tidak menempuh cara ini, mungkin Anda juga akan mendapat pengalaman seperti saya, mendapat tegur sapa dari beliau dan istri beliau, tatkala saya belum sebulan menulis di Kompasiana (masih debutan). Bayangkan betapa bermaknanya mendapat sambutan selamat bergabung dari mereka!

Jika Anda orang yang berpikiran "kritis" dan "agak negatif," terkait tegur sapa ini, mungkin akan muncul pertanyaan: Siapa sih orang ini? Kok kayak mau cari perhatian dari orang yang belum dikenal? Atau lebih jauh lagi, kok sudah tua begini masih nggak berhenti menulis? Saya mau katakan, pemikiran seperti itu keliru total!

Jika Anda menyimak tahapan "gelar" penulis Kompasiana, begawan adalah level pamungkas, atau level ke-7, yang harus telah mengumpulkan 250.001-1.000.000 poin. Ada berapa orang sih yang sudah berada dalam level ini, dalam alam yang saya lihat sangat kesepian bak nukleus atom unsur Hidrogen itu?

Bagi pak Tjipta, menambahkan artikel sebanyak apa pun tidak akan membawa pengaruh apa-apa lagi, poin sebesar 250.001 atau 1.000.000 itu tidak ada bedanya kawan.

Lalu apa alasan beliau terus menulis, termasuk sebuah artikel yang mengupas tuntas alasan itu, Inilah Pengalaman Sejati Menjalani Hidup di Masa Pensiun, dengan kalimat inspiratif: Bagi kami berdua, pensiun di kursi goyang ? No, Way! itu?

Biarkan saya mengupas secara singkat:
1. Passion yang disertai semangat yang luar biasa: Menulis adalah Bagian dari Kesenangan Hidup.

Kami berdua bersyukur kepada Tuhan, dalam usia 78 plus tetap sehat lahir batin dan hidup mandiri (Kutipan komentar pak Tjipta atas artikel saya).

2. Mari kita menekan sakelar pikiran kita ke posisi ON (POSITIF):
Orang sekaliber begawan kita menulis untuk memberikan manfaat kepada sebanyak-banyaknya orang lain (ini juga menjadi titik keberangkatan saya ketika mulai menulis di Kompasiana).

Kita simak, resapi dan renungkan kalimat di atas, kalau niat seseorang, apalagi seorang begawan, adalah memberikan manfaat, entah kalau Anda pembaca sekalian, kalau saya, kesimpulan langsung yang bisa saya tarik adalah: berarti tidak ada niat untuk "mengambil" manfaat dari orang lain, apalah makna perhatian, dari orang yang tak dikenal pula, atau aktualisasi diri yang semu, menambahkan poin dan lain-lain sebagainya.

Sebuah komentar yang dititipkan begawan kita di salah sebuah artikel saya dengan jelas menunjukkan niat ini (ketikan bebas):
"Kalau ada 1 orang saja yang membaca dan merasakan manfaat artikel yang kita tulis, berarti manfaat itu sudah sampai."

Sampai? Ke 1 orang saja? Coba kita renungkan kata-kata pak Tjipta ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline