Lihat ke Halaman Asli

Johan Japardi

Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Apakah Dasar Negara Bisa Diganti?

Diperbarui: 1 Juni 2021   04:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: kelbandungrejosari.malangkota.go.id

Dipersembahkan untuk: Para Founding Father Negara Kesatuan Republik Indonesia

Judul artikel ini mengejutkan, tapi isinya bukan mengarah ke penggantian Pancasila sebagai dasar negara, melainkan sebuah pertanyaan yang menjadi perdebatan antara, katakanlah seorang alumnus Pedoman, Penghayatan, dan Pengamalan Pancasila, P4 (seperti saya), dengan katakanlah, seorang anak muda yang menjadi lawan debatnya, yang belum pernah mengecap penataran P4 itu.

Ini adalah artikel perdana saya untuk Topik Pilihan Pendidikan Pancasila, dan saya memulainya dengan sebuah naratif yang paling mendasar, sebisa mungkin mendekati kemendasaran Pancasila itu sendiri.

Supaya tercapai tujuan saya untuk menyampaikan manfaat yang sebesar-sebesarnya kepada sebanyak- banyaknya pembaca, dan tidak menyebut apalagi menyinggung orang-perorangan maupun kelompok dengan pikiran yang mewakili masing-masing dari 2 orang di atas, maka artikel ini saya buat berupa percakapan (perdebatan) di antara dua orang itu, katakanlah pak A dengan keponakannya, B.

Pak A semakin hari semakin prihatin dan risau dengan kenyataan bahwa di negara Republik Indonesia ini, sejak penataran P4 dihilangkan, maka pedoman dalam P4 ini pun tidak lagi menjadi pegangan, utamanya generasi muda. Jangankan tak memegang sebuah pedoman, kelima butir Pancasila pun mereka sudah tidak hafal. Ini salah siapa? Kalau Pancasila masih dasar negara, kenapa butir-butirnya saja tidak dihafal?

Mendikbud Nadiem Makarim mengharapkan Pancasila tak hanya sekadar dihapalkan, tetapi lebih dihayati dan diamalkan, untuk menciptakan manusia Indonesia yang berintegritas, bermoral, dan spiritual. Bagaimana harapan pak menteri ini bisa diwujudkan kalau menghafal saja tidak dilakukan? Bukankah orang yang tidak punya pedoman itu bagaikan sebuah kapal yang terombang-ambing di lautan?

Keadaan ini sudah terlalu lama dibiarkan, tapi kabar baiknya sekarang segala macam upaya pemulihan dilakukan, walau tidak lagi dalam format penataran.

Dulu, di tahun 1980-an, ketika pak A diterima sebagai mahasiswa di salah sebuah PTN, sebelum memulai perkuliahan, beliau mengikuti penataran P4 ini, yang wajib harus lulus. Sekarang, pak A harus berhadap-hadapan dengan B, keponakannya, juga seorang sarjana, S3 malah, yang sama sekali tidak mempedulikan bahwa dia termasuk orang yang tidak menghafal butir-butir Pancasila, dan pernah tidak bebas dari tilang oleh polisi ketika dia tidak bisa memenuhi syarat untuk bebas itu, menghafal butir-butir Pancasila!

Apakah pak polisi dan pak A bisa menyalahkan si B? Tentu saja tidak bisa. Dari mana jalannya bisa mengharapkan seseorang yang jangankan mengikuti penataran P4, mendapat pembelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) saja pun tidak, untuk bisa sepikiran dengan pak A?

Pak A, setelah menyadari kenyataan tentang si B, mulai mencoba mengubah cara berpikir keponakannya itu, dengan peluang berhasil atau gagal fifty-fifty.

Rencana pak A ini membutuhkan upaya yang panjang dan waktu yang lama, karena mereka berdua tidak bisa disalahkan dengan alasan memiliki pendapat yang berseberangan, dua-duanya berpikir logis kok, di bawah kondisi masing-masing yang menjadi perbedaan dasar mereka.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline