Lihat ke Halaman Asli

Johan Japardi

Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Mengapa Sulit Menerima Kekurangan Pasangan?

Diperbarui: 31 Mei 2021   21:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Orang yang Tepat, dari buku Road to a Happier Marriage karya Ivan Burnell, lisensi ada pada saya.

Inkonsistensi manusia terlihat setelah menikah, dan malahan ada yang mengatakan inkosistensi ini sebagai keanehan yang selalu dikaitkan dengan keegoisan.

Hanya ada satu kunci untuk menciptakan kebahagiaan dalam pernikahan: Memelihara situasi dan kondisi bahagia pada awal kebersamaan, lihat artikel saya: Dijodohkan atau Bukan, Kebahagiaan Diciptakan Sendiri.

Sebuah contoh:
Jane menemukan pria idamannya. Pria itu telah bekerja pada perusahaan yang sama selama 10 tahun. Dia tipikal orang yang tidak suka sering keluar rumah. Mereka pun berpacaran, dan Jane memasakkan makanannya dan mencucikan pakaiannya, walaupun ini bukan hal-hal yang dia suka lakukan untuk dirinya sendiri.

Kemudian mereka pun menikah. Jane menjadi begitu sibuk dengan pekerjaannya sehingga tidak sempat lagi memasakkan makanannya atau mencucikan pakaiannya. Perusahaan Jane menawarkan banyak kerja lembur yang selalu dia terima.

Dalam waktu luangnya, Jane biasanya mengunjungi teman-teman wanitanya. Jane dan suaminya sangat jarang bertemu satu sama lain. Suaminya pergi kerja pagi-pagi, sebelum dia bangun tidur. Dia sendiri bekerja larut waktu dan pergi tidur setelah suaminya tertidur.

Percuma untuk dikatakan, pernikahan ini tidak bertahan lama. Apa yang salah?

Ini contoh jodoh yang dicari sendiri tapi tidak menjamin kebahagiaan. Bagaimana bisa, Jane yang sewaktu berpacaran "mengorbankan perasaannya" demi kebahagiaan, tapi tidak bisa lagi melakukannya setelah menikah? Apakah karena sewaktu berpacaran dia tidak menjadi dirinya sendiri? Tidak demikian, karena seperti yang saya sebutkan dalam beberapa artikel sebelumnya, manusia adalah makhluk kebiasaan dan kebiasaan itu bisa diubahkan (menjadi kebiasaan baru), setelah melewati apa yang disebut dengan zona nyaman.

Beberapa teman saya mengatakan bahwa menyatukan keinginan dua orang itu susahnya setengah mati, dengan alasan saudara kembar saja punya keinginan yang berbeda. Fakta cerita di atas adalah Jane rela mengubah kebiasaannya demi kekasihnya, tapi dia inkonsisten setelah menikah, dan lama-lama kegiatannya di kantor yang dia jadikan alasan untuk tidak bisa memasak dan mencuci pakaian lagi.

Menerima seseorang jangan hanya didasarkan pada kelebihan yang ada padanya, tetapi juga kekurangannya, termasuk kekurangan yang belum diketahui, dan pernikahan adalah pembelajaran saling mengenal dan menerima yang berlangsung seumur hidup. Ada orang yang mencari pasangan dengan kriteria yang tidak bisa ditawar-tawar, harus beginilah, harus begitulah, tidak boleh beginilah, tidak boleh begitulah, yang mungkin dia pantulkan dari kepribadiannya yang perfeksionis, dan orang itu berakhir dengan........... melajang seumur hidup, karena pada tahapan berpacaran saja dia tidak bisa menerima pasangannya.

Sebenarnya pernikahan itu juga sebuah hubungan yang memupuk persamaan dan tidak menajamkan perbedaan, tapi justru perbedaan kecil yang dibesar-besarkanlah yang menyebabkan terjadinya setiap perceraian.

Memang ini tidak bisa disamakan dengan penerimaan sebuah produk misalnya, tapi saya berikan contohnya:
Ketika saya hendak membeli sebuah rice cooker, saya melakukan sedikit riset daring dan menetapkan kriteria sebuah rice cooker yang hendak saya beli, dengan fitur-fitur: digital, potnya paling tebal, multifungsi (bisa masak nasi, mengukus dan menghangatkan sudah pasti, masak bubur, kue, lauk, dll.)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline