Lihat ke Halaman Asli

Johan Japardi

Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Apoteker dan Chef, Rasa, Praktik, dan Karya

Diperbarui: 1 Juni 2021   00:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tangkapan latar dari: shopee.co.id/

Ilmu Meracik Obat, Teori dan Praktik, karya Moh. Anif, penerbit Gadjah Mada University Press.

Angsa hitam menjadi sebuah special case untuk angsa putih (Fakta dan Kebenaran: Sekelumit Pemahaman), dua-duanya diterima sebagai kebenaran berdasarkan fakta, walau kontradiktif satu sama lainnya.

Karena saya seorang Apoteker dan juga chef, maka lahirlah artikel dengan judul di atas, dan walaupun bisa variatif, saya mengambil satu urutan saja: mengubah rasa menjadi praktik, baru melakukan pengolahan lebih lanjut menjadi karya tulis. Ada pararelisme antara Apoteker dengan chef dan tempat kerja mereka, laboratorium dengan dapur, tentunya berisi bahan-bahan yang berbeda, yang satu bahan farmasi dan satu lagi bahan makanan.

Di apotek, kegiatan meracik obat sudah berkurang sejak sediaan obat jadi diproduksi oleh pabrik-pabrik farmasi, tapi peracikan tetap dilakukan dan ilmu dan seni meracik tetap dipelajari seorang calon Apoteker, dengan penggantian kegiatan peracikan yang sudah berkurang itu dengan pelayanan pemberian obat di sarana kesehatan komunitas seperti apotek, klinik dan puskesmas, yang disebut dengan Farmasi Klinik dan Komunitas.
Hal seperti ini tidak dialami oleh seorang chef.

Karena saya seorang Apoteker yang sejak kecil juga belajar memasak, termasuk mengidentifikasi bahan makanan, rempah-rempah yang digunakan sebagai bumbu, dll., untuk sebagaimana seorang Apoteker membuat sebuah sediaan racikan, membuat sebuah hidangan. Menarik karena bahasa Indonesia menggunakan kata "racik" untuk dua kegiatan yang berbeda ini.

Karena keapotekeran saya hanya sebatas gelar dan bukan profesi, maka saya mencontohkan Apoteker lain dan karya beliau setelah melakukan praktik berdasarkan keilmuan beliau: Ilmu Meracik Obat, Teori dan Praktik, karya Moh. Anif, penerbit Gadjah Mada University Press (lihat gambar judul).

Pada 2010 saya pernah membuka sebuah restoran seafood kecil. Pada akhir pekan, jika chef saya pulang kampung, saya yang menjadi chefnya. Di dapur, di depan atas kompor, ada sebuah rak berisi lebih dari 30 macam bumbu, padat maupun cair, yang letaknya tidak boleh diubah-ubah. Kompor yang digunakan berbahan bakar gas tekanan tinggi, yang besar-kecil apinya diatur ketika sedang memasak. Bumbu biasanya ditambahkan ke dalam kuali tanpa dilihat karena mata berfokus pada isi kuali. Itulah alasannya mengapa letak masing-masing bumbu harus tetap.

Ada SOP tak tertulis di dalam dapur dengan kompor gas bertekanan tinggi ini, si chef tidak boleh diajak bicara ketika sedang memasak, karena bisa membuyarkan fokusnya dan berdampak fatal: memasukkan bumbu yang salah, masakan menjadi gosong, dll.

Pengalaman seperti ini saya bawakan ke dapur rumah dengan kriteria yang lebih ringan karena kompor gasnya bertekanan lebih rendah, namun tidak boleh tidak, letak bumbu harus teratur.

Selain bahan, saya menata dapur saya dengan sangat rapi, lengkap dengan alat-alat masak dan makan berkualitas tinggi yang bahkan melampaui restoran besar, dan sebagian di antaranya saya beli ketika ke luar negeri. Alat-alat untuk memotong diasah secara berkala, dan untuk setiap kegiatan sekecil apa pun, hanya alat yang sesuai yang digunakan. Untuk memastikan nasi yang saya masak pulen dan enak, saya menggunakan sebuah rice cooker dengan pot setebal 4 mm, harganya relatif mahal tapi bisa digunakan selama bertahun-tahun tanpa penurunan sedikit pun kinerjanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline