Lihat ke Halaman Asli

Johan Japardi

Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Berbahagia Setelah Menulis

Diperbarui: 19 Juni 2021   19:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: https://www.tenstickers-indonesia.com/stickers/think-happy-be-happy-wall-text-sticker-13639

Saya mengeksklusi kebahagiaan ketika menulis, karena kalau saya tidak bahagia, artikel ini tidak eksis.

Saya bukan berbicara dengan diri sendiri dalam cerpen ini, tapi saya menggunakan kata "aku," dan "Anda," yang membaca, menjadi "aku" tanpa harus saya sebut Anda sebagai "Anda."

Aku pikir:
Kalau aku tidak bisa menulis, sebaiknya aku jangan nulis.
Kalau aku tidak ikhlas menulis, sebaiknya aku jangan nulis.
Kalau aku tidak bahagia setelah menulis, sebaiknya aku jangan nulis.

Jadi, sebelum menulis, akupun menetapkan tujuanku menulis: tulisanku menunjukkan kualitasku dalam mengolah rasa menjadi dia, bermanfaat bagiku maupun sebanyak- banyaknya orang yang membacanya, dan aku pun bahagia setelah itu.

Apa perlu aku pikirkan segala hal yang terjadi setelah artikelku tayang? Tidak perlu.
Kenapa? Karena akan berpotensi membuatku pusing dan..................tidak bahagia.

Tapi kucobalah dulu menjajaki pikiran seperti itu.

Pembaca dan Editor
Setelah artikelku ditayangkan, apakah ada pembacanya? Ada.
Apakah bermanfaat? Ya, karena tujuanku berbagi manfaat kepada orang lain sudah tercapai, dan aku juga mendapat teman-teman baru.
Lalu...............
Kok pembacanya sedikit, kok artikelku tidak jadi Pilihan Editor atau malah Headline sekalian?
Kutenangkan diri.
Sedikit atau banyak pembaca yang penting tujuanku sudah tercapai.
Yang menilai artikelku siapa? Para editor.
Apa pikiran mereka sama denganku? Tidak, kalau sama aku juga sudah jadi editor.

Nilai dan Komentar
Tak perlu dipikirkan karena ini terkait pembaca dan editor, yang sudah berdamai denganku di atas.
Lalu...............
Tapi kenapa ada penulis lain yang mempersoalkan itu? Sampai-sampai menantang editor untuk bisa sama produktifnya dengan dia?
Apakah pikiran editor sama dengan dia? Tidak.
Dengan logika yang sama dengan di atas, kalau sama, dia saja jadi editor.
Apakah pikiranku sama dengan dia? Tidak, karena aku bukan dia. Mudah-mudahan dia sadar bahwa protesnya itu tidak pada tempatnya dan sebaiknya terus menulis setelah......... menghilangkan pikiran seperti itu.
Tapi kan editor Kompasiana manusia biasa yang tidak terlepas dari berbuat kesalahan?
Memangnya aku bukan manusia seperti itu? Ya sih. Ya sudah.

Kualitas Tulisan Kompasianer Lain
Kok artikel penulis anu dengan kualitas anu dijadikan oleh editor anu sebagai Pilihan Editor?
Lho, kok muncul lagi pemikiran seperti di atas?
Apakah pikiran penulis lain sama dengan pikiranku? Tidak.
Apakah aku dalam posisi menilai mereka dan kualitas artikel mereka? Oh ya ya, tidak, karena aku bukan editor, aku penulis artikel.
Ya, sudah, kembali sana, nulis (ini siapa yang ngomong ya?)

Fokus berpikir yang esensial, bukan yang non-esensial.

Rekan-rekan Kompasianer, marilah kita semua meneruskan menulis dengan kemampuan, gairah, bidang, dll masing-masing, yang penyair teruslah menulis puisi maupun bukan puisi, yang ahli filsafat teruslah menulis filsafat maupun bukan filsafat, yang guru maupun dosen teruslah menulis di ruang kelas maupun di luar ruang kelas, yang senang makanan teruslah menulis tentang makanan maupun bukan makanan dst. Kita semua menulis bukan karena dan dengan gelar yang kita sandang, tapi gairah dan semangat. Saya yakin bahwa sebagaimana saya mendapat kebahagiaan setelah menulis, Anda pun demikian.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline