Lihat ke Halaman Asli

Johan Japardi

Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Antidot Bos Toksik

Diperbarui: 22 Mei 2021   15:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Makan siang bersama rekan-rekan kerja, 27 November 2012. Sebuah lingkungan non-toksik.

Gambaran yang saya tulis dalam Bos Toksik adalah tentang seorang bos yang setoksik-toksiknya.

Mengapa gambaran separah itu yang saya sajikan?
1. Bos toksik seperti itu memang ada, yang lebih parah lagi mungkin juga ada. Hanya karena Anda belum bertemu langsung bukan berarti dia tidak ada. Bagi adik-adik yang hendak memulai bekerja, antisipasilah hal ini.

Faktor-faktor seperti kompetensi, kejujuran, hubungan yang baik dengan semua orang di kantor (yang memastikan Anda menyelesaikan pekerjaan Anda dengan sebaik-baiknya) bukan menjadi kriteria bagi bos toksik untuk menilai kinerja dan memberikan penghargaan yang setimpal, yang dicari oleh setiap karyawan dalam wujud peningkatan kesejahteraan, karir (ini istilah yang lucu bagi saya), dengan hasil akhir berupa kualitas hidup yang semakin meningkat pula.

2. Anda bekerja karena mengandalkan kompetensi yang Anda capai dengan investasi yang tidak sedikit (pendidikan), namun tidak bisa mengharapkan penghargaan yang setimpal, akankah Anda bahagia? Anda akan mulai menyaksikan bahwa penghargaan hanya diperoleh orang-orang dalam ring favorit si bos, yang kompetensinya bahkan jauh di bawah Anda, dan yang pada gilirannya akan besar kepala dan jangan kaget, berkontribusi besar dalam konstruksi lingkungan kerja toksik (tepatnya multitoksik).

Dengan tingkat toksisitas yang bervariasi, ini akan terlihat berupa rekan kerja yang gemar bergosip, teman semeja yang selalu merasa dizalimi oleh bos setiap kali diberi penugasan, atasan yang suka melempar tanggung jawab, orang yang suka membawa masalah keluarga ke kantor, rekan kerja selevel yang menganggap dirinya berkedudukan "lebih tinggi," rekan kerja yang sedikit-sedikit memberikan laporan kepada bos bahkan dengan melewati atasan langsungnya, rekan kerja yang bukan bekerja berlandaskan kompetensi, tapi "angkat telor" misalnya dengan berperan sebagai "barista," membuatkan kopi untuk bos dengan segala macam pertanyaan tetek-bengek seperti: "bos, gulanya berapa sendok, pakai krimer nggak?," dan list ini bisa saya lanjutkan terus, namun Anda, utamanya adik-adik yang akan mulai bekerja, bisa melihat dan mengalami sendiri semua hal toksik ini.

Satu yang hendak saya tambahkan di sini yang pernah saya alami sendiri, lingkungan multitoksik yang ikut dibuat oleh saudara-saudara bos yang suka berseliweran di kantor dan mencampuri urusan kakak atau adiknya, yakni para bos bayangan. Saya membekali diri dengan sikap yang sangat tegas: saya bukan bekerja untuk mereka, yang penting saya menjaga hubungan yang baik dengan mereka, dan yang paling penting jangan sampai mereka melanggar hak pribadi saya.

Pengalaman 1:
Awal-awal saya bekerja di sebuah perusahaan pasca krismon 1998, seorang kakak bos (KB) yang mencitrakan diri sebagai orang yang berwibawa, pintar dan rajin, mengambil kursi dan duduk di samping saya, hendak memberikan pengarahan bagaimana seharusnya saya bekerja:
KB: "Pak, kan setiap hari bapak kirim surel ke luar negeri, apakah bapak pantau balasannya?" (Ini orang benar-benar hendak mengajari buaya berenang. Saya punya skala prioritas sendiri, dan tak mungkin surel masuk tidak saya pantau, wong komputernya nyala terus selama jam kerja. Sudah tak perlu dijelaskan lagi bahwa pemantauan/pengecekan dilakukan untuk melakukan follow-up sampai sebuah pekerjaan selesai).
Saya: "Ya pak."
KB: "Apakah bapak pakai buku besar?"
Saya:  (????????) Maksudnya pak?"
KB: "Begini, seharusnya bapak menyediakan sebuah buku besar khusus lalu lintas surel, bapak tulis misalnya hari ini tanggal sekian bapak kirim surel kepada siapa, apa isinya, lalu setelah ada balasan, bapak tuliskan juga balasannya."
Sampai di sini saya benar-benar merasa hak pribadi saya sudah dilanggar.
Saya: "Tidak pakai pak, dan tidak perlu."
KB kelihatan tidak bisa menerima jawaban saya dan muncullah reaksinya yang bossy.
KB: "Wah, kalau saya bilang bapak harus menyediakan buku besar itu."
Waktu 1-2 menit di antara giliran berbicara cukup bagi saya untuk memikirkan sebuah jawaban yang langsung membuat KB hengkang dari ruangan saya: "Begini pak, coba bapak bayangkan, bapak sedang menulis sebuah kamus, apakah perlu bapak buat indeksnya?"

Pengalaman 2: 
Saya dan KB mendampingi adiknya, si bos, ke Taipei untuk urusan bisnis. Sampai di hotel, saya belum menerima uang saku, yang di perusahaan tempat saya bekerja sebelumnya ditetapkan secara rinci dalam sebuah SOP, jabatan anu kalau ke luar kota berapa, luar negeri berapa, dst. Saya meminta hak saya ini dari bos, yang memberikannya dengan tidak ikhlas (mungkin belum pengalaman mengeluarkan uang saku). Uang itu saya ambil tanpa memikirkan lagi apakah jumlahnya layak atau tidak.

KB: "Wah, lain kali keluar negeri, kami akan mempertimbangkan apakah bapak diikutkan atau tidak."
Saya: "Tak usah dipertimbangkan pak, jangan ajak saya tanpa uang saku."

Akibat omongan KB, saya tinggalkan mereka di kamar hotel, dan saya pergi jalan-jalan di kota Taipei, dan yang paling penting membelikan suvenir untuk ibu saya. Dua kakak beradik ini yang bak rusa masuk kampung ini terpaksa makan di restoran dalam hotel.

Pengalaman 3:
KB sedang memindahkan perabotan di kantor. Dia mengajak office boy mengangkat meja kursi dari lantai sekian ke lantai sekian. Saya yang sedang menuruni tangga berpapasan dengan mereka.
KB: "Bantu angkat dong pak."
Omongan KB jatuh ke telinga tuli.
Tak lama kemudian, KB masuk ke ruangan saya untuk menyampaikan "tegoran."
KB: "Kenapa tadi bapak mencuekin saya dan tidak bantu angkat?"
Saya: "Pak, walau dalam deskripsi kerja saya sama sekali tidak disebutkan tentang angkat perabotan, saya sebenarnya lebih dari senang untuk membantu, karena sering saya kerjakan....... di rumah."

Pengalaman 4:
Berkunjung ke sebuah pameran di Dubai bersama KB.
Dengan sangat rakus, KB mengambil sampai dengan 5 salinan katalog dari hampir semua stand yang kami kunjungi. Di hotel, semua katalog dimasukkan ke dalam...... koper saya. What the heck and what is wrong with this guy?
Saya sendiri sempat membeli sebuah mesin espresso merek Palson Caprice buatan Spanyol, beratnya kira-kira 7 kg.
Sewaktu hendak pulang ke Jakarta, bagasi saya kelebihan berat dan terkena denda.
KB: "Bapak gimana sih, nanti denda ini kami potong dari gaji bapak."
Saya: "OK pak, saya terima. Tapi sebelum pemotongan itu dilakukan, bagaimana kalau sekarang kita keluarkan semua katalog dari koper saya lalu menimbang berat barang bawaan pribadi saya?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline