Lihat ke Halaman Asli

Johan Japardi

Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Logika Belajar Apa Saja

Diperbarui: 30 April 2021   05:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Sewaktu masih berkuliah di Jurusan Farmasi Fakultas MIPA USU dulu, saya sempat berbincang-bincang dengan salah seorang dosen saya, kakanda Prof. Apt. Dra. Azizah Nasution, M.Sc., Ph.D., tentang spesialisasi yang tidak cocok dengan budaya dan watak orang Indonesia, dan kami sepakat akan satu hal:

Orang Indonesia bisa sambil menyelam minum air tangkap ikan cari mutiara cabut rumput laut dan lain-lain, tapi tidak tenggelam! (Isi kalimat ini sudah saya modifikasi sedikit).

Coba simak lagu Doel Sumbang, Dosen Kucluk: Bapakku yang tulen lahir di Cililin Kota Wajik, bekerja sebagai: wartawan pengarang penyiar mubaligh dan...... juga pegawai negeri.

Kita bisa berasumsi bahwa orang Barat mendapat inspirasi dari kegiatan menyelam orang Indonesia di atas dan terkoinlah istilah multitasking. Untuk makna kata "koin" lihat Pojok Koin Johan Japardi, Bagian 1 (Bilingual).

Jika diperhatikan, berbicara dari segi intelektualitas, hanya segelintir orang Barat yang "pintar berpikir," selebihnya "dipikirnya dia pintar." Yang bikin kesal, yang merasa "pintar berpikir" ini cenderung jadi sombong dan menyombongkan kepintarannya dengan menggunakan orang lain. Biar jelas, ini contohnya:

Seorang pendeta tamu dari Amerika yang pernah saya dengar khotbahnya memulai dengan memamerkan hasil penelitiannya tentang manuskrip salah sebuah kitab dalam Perjanjian Baru dan membacakan satu ayat dalam bahasa Yunani (yang menurut saya dengan mendapatkan kepuasan yang tidak lebih dari hanya bisa menunjukkan bahwa dia bisa membaca satu ayat itu dalam bahasa Yunani, yang lain-lain belum tentu). Kasihan sekali.

Lebih aneh lagi, seorang pendeta Indonesia yang duduk di samping saya, yang lumayan sering mengajarkan bahwa kita tidak boleh sombong, membisikkan "Johan, kalau si anu ini belajar satu bahasa baru, dia hanya butuh waktu 6 bulan."

Saya langsung mencerna perkataannya. Oh, orang-orang tertentu boleh sombong ya? Siapa yang memberi hak kepada mereka untuk sombong? Buat apa mereka sombong?, dan saya berikan sebuah jawaban yang mengagetkan sang pendeta: "Kalau saya cukup 3 minggu."

Seberapa cepat seseorang memahami bahasa baru yang dia pelajari itu tidak penting, yang penting dia paham. Gitu aja kok repot (pinjam istilah dari Gus Dur).

Atas dasar tanggungjawab terhadap ucapan saya, akhirnya saya berhasil membuktikan bahwa untuk belajar bahasa baru, dalam hal ini bahasa Jepang (baca-tulis-ngomong), cukup 20 jam saja! Ada caranya (saya namai Metode Sim-ak (Simplifikasi Akselerasi dalam Pembelajaran Apa Saja). Tentunya sekarang saya belum bisa share metode ini secara detail kepada para pembaca, tapi di sini saya mau share sedikit tentang kunci-kuncinya.

Aplikasi Sim-ak dalam Pembelajaran Bahasa Baru
1. Keluarlah dari asumsi bahwa belajar percakapan butuh teman bicara. In nonsensical. Bacalah dengan bersuara keras dan dengarkan dengan cermat apa yang Anda baca, lalu bandingkan dengan cara baca native speaker. Anda sendirilah teman bicara Anda.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline