Lihat ke Halaman Asli

Johan Japardi

Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Kebelumtahuan yang Dipamer-pamerkan

Diperbarui: 24 April 2021   08:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Pengantar
Kamus Oxford mendefinisikan kata diskresi sebagai:
1. kebebasan atau kesanggupan untuk memutuskan apa yang harus dilakukan di bawah kondisi tertentu.
2. peduli dengan apa yang Anda katakan atau lakukan, untuk merahasiakan sesuatu atau untuk menghindari mempermalukan atau mempersulit seseorang; kualitas diskret.

Kearifan yang sama telah saya gunakan dalam menyusun kata-kata dalam artikel ini (antara lain untuk kata pertama judul, saya tidak menggunakan "ketidaktahuan") dan saya memasukkan artikel ini, dan dengan demikian memfokuskan pembahasannya, hanya dalam kategori "Bahasa."

Mari kita mulai!
Orang yang berbicara tanpa kesopan-santunan akan merasa sulit untuk membuat kata-katanya baik. - Konfusius.

Di mana-mana semakin banyak orang, yang entah sadar atau tidak, pede atau bahkan memamerkan kebelumtahuannya. Kalau dulu saya merasa heran dan bahkan kesal melihat hal seperti ini, tapi sekarang hanya tergeli hati.

Ini senarai contoh beberapa kata yang menggambarkan keadaan di atas:
1. by the way ngomong-ngomong, saya ingin melakukan satu approach pendekatan.
2. lebih prefer (padahal prefer sendiri sudah bermakna: lebih menyukai).
3. merubah (seperti yang banyak digunakan dalam buku-buku lama berbahasa Indonesia), padahal maksudnya mengubah. Kata dasar merubah adalah rubah (hewan yang masih berkerabat dengan anjing dan serigala).
4. What? Oreo? padahal dia ditanya tentang REO (Real Estate Owned) - yang ini diucapkan dengan bingung oleh salah seorang menteri AS (ini sungguh memalukan).

Pernah juga ucapan seorang pejabat dikritik dengan nada penuh ejekan oleh seseorang yang berinisial, katakanlah GR (yang namanya menurut saya adalah nama baru untuk tong kosong nyaring bunyinya, pepatah kita yang belum terbukti salah).

Menurut saya, kita tidak boleh seperti GR yang suka mencap orang lain "dungu" (sebuah kata yang kasar), karena ini tidak ada kaitannya dengan kedunguan. Mana ada orang yang menyadari atau bahkan bangga dengan kedunguannya. Dan kita juga tidak boleh seperti GR yang suka mencap perkataan orang lain sebagai produk atau refleksi dari "kekacauan berpikir."

Alih-alih kedunguan dan kekacauan berpikir, "kelemahan" di atas lebih terkait dengan tidak tertibnya orang tertentu dalam berbahasa, sudah ada bahasa Indonesianya kok malah menggunakan istilah asing yang lebih tidak lazim (istilah sekarang: buat keren-kerenan). Tapi kita lihatlah dari sisi positifnya, keren-kerenan tidak apa-apa asal itu membuat bahasa (utamanya lisan) menjadi lebih variatif, tapi tetap sebisa mungkin memenuhi aturan baku berbahasa.

Saya teringat ucapan almarhum atok (kakek) saya, Yap Chenghuat (Mr. Yap), kepala sekolah Methodist English School, Panatua Gereja Methodist I Tanjungbalai Asahan:

"Di dunia ini tidak ada orang yang bodoh, yang ada adalah orang yang belum tahu. Jika bagian atas sebuah parang kita asah, maka parang itu bisa berubah menjadi sebuah pedang. Jadi teruslah belajar supaya semakin tahu."

Dan saya tambahkan:
"Itu pun dalam batasan bahwa setelah belajar, ada yang kita tahu dan selebihnya (harus kita akui) kita belum tahu." Ini sejalan dengan ngelmunya orang Jawa (angél sadhurungé ketemu: susah didapat sebelum dapat, kalau sudah dapat ngelmu yang lain lagi).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline