Perpustakaan Pribadi Johan Japardi.
Dari Catatan Harian 6 Juli 2019,
Membaca atau menikmati buku-buku selalu dianggap sebagai salah sebuah pesona hidup berbudaya yang disegani dan dicemburui oleh orang-orang yang sangat jarang memberikan diri mereka hak istimewa ini. Ini mudah dimaknai jika kita membandingkan perbedaan hidup seseorang yang tidak membaca dengan seseorang yang membaca. Orang yang tidak memiliki kebiasaan membaca terkungkung dalam dunianya yang serta-merta terhadap waktu dan ruang. Hidupnya terdiri dari serangkaian rutin; kontak dan percakapannya terbatas pada beberapa teman dan kenalan, dan dia hanya melihat apa yang terjadi dalam lingkungannya yang serta-merta.
Dia tidak bisa melarikan diri dari penjara ini. Tetapi begitu dia mengambil sebuah buku, dia dengan serta-merta memasuki sebuah dunia yang berbeda, dan jika yang diambilnya adalah sebuah buku yang bagus, dia dengan serta-merta berhubungan dengan salah seorang tukang bicara terbaik dunia. Tukang bicara ini menuntun dan membawa dia ke dalam sebuah negeri yang berbeda atau sebuah era yang berbeda, atau mencurahkan isi hati kepada dia tentang beberapa penyesalan pribadinya, atau membahas dengan dia beberapa kalimat khusus atau aspek hidupnya yang tidak diketahui oleh si pembaca. Seorang pengarang kuno menyatukan dia dengan arwah yang sudah lama meninggal dunia, dan ketika dia meneruskan membaca, dia pun mulai membayangkan bagaimana rupa si pengarang kuno dan tipe orang seperti apa dia.
Baik Mensius dan Sima Qian, sejarawan terbesar China, pernah menyampaikan gagasan yang sama. Sudah barang tentu, mendapatkan kesempatan selama dua jam dari dua belas jam untuk berada di dunia yang berbeda dan menjauhkan pikiran dari kekinian yang serta-merta merupakan hak istimewa yang dicemburui oleh orang-orang yang terkungkung dalam penjara lahiriahnya. Perubahan lingkungan yang demikian memiliki efek psikologis yang serupa dengan bepergian.
Tetapi ada yang lebih dari ini. Si pembaca selalu terhanyut ke dalam sebuah dunia pemikiran dan perenungan. Bahkan jika buku yang dibacanya berisi peristiwa-peristiwa fisik, ada perbedaan di antara melihat peristiwa-peristiwa tersebut atau mengalaminya, dengan membaca tentang peristiwa-peristiwa itu dalam buku, karena peristiwa-peristiwa itu selalu menyerap kualitas pengamatan dan si pembaca pun menjadi seorang pengamat lepas. Oleh karena itu, pembacaan yang terbaik adalah yang menuntun kita ke dalam suasana hati yang penuh pemahaman ini, dan bukan melulu berisi laporan peristiwa-peristiwa. Bagi saya, waktu yang luar biasa banyak yang digunakan untuk membaca surat kabar sama sekali bukan membaca, karena utamanya yang dipedulikan oleh kebanyakan pembaca surat kabar adalah mendapatkan laporan tentang peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian tanpa nilai pemahaman.
Menurut pendapat saya, rumusan terbaik untuk bahan bacaan, dinyatakan oleh Huang Shangu, seorang penyair dari dinasti Song dan sahabat Su Dongpo. Dia mengatakan, "Seorang cendekiawan yang sudah tidak membaca apapun selama tiga hari merasakan bahwa perkataannya tidak punya citarasa (menjadi hambar), dan wajahnya sendiri menjadi dibenci untuk dilihat (di cermin)." Tentu saja, yang dia maksudkan adalah bahwa membaca memberikan seseorang pesona dan citarasa tertentu, yang merupakan keseluruhan bahan bacaan, dan hanya membaca dengan bahan ini bisa disebut seni. Orang tidak membaca untuk "meningkatkan pikirannya," karena jika seseorang mulai berpikir untuk meningkatkan pikirannya, seluruh kenikmatan membaca pun lenyap.
Orang seperti ini adalah tipe orang yang berkata kepada dirinya sendiri: "Aku harus membaca karya Shakespeare, dan aku harus membaca karya Sophocles, dan aku harus membaca semua buku koleksi Rak Buku Lima Kaki dari Dr. Eliot, supaya aku menjadi orang yang terpelajar." Saya yakin orang tersebut tidak akan menjadi terpelajar. Dia akan memaksa dirinya pada suatu malam untuk membaca Hamlet Shakespeare dan seakan beranjak dari sebuah mimpi buruk, dengan manfaat yang tidak lebih besar dari sekadar bisa mengatakan bahwa dia telah "membaca" Hamlet. Siapa saja yang membaca sebuah buku dengan perasaan wajib, tidak memahami seni membaca. Jenis pembacaan dengan tujuan bisnis ini tidak ubahnya seperti seorang senator yang membaca arsip-arsip dan laporan-laporan sebelum menyampaikan pidato. Itu adalah mencari saran dan informasi bisnis, dan sama sekali bukan membaca.
Dengan demikian, membaca untuk mengolah pesona pribadi berupa penampilan dan citarasa dalam perkataan, menurut Huang, merupakan jenis pembacaan yang bisa diterima. Pesona penampilan ini harus dengan nyata ditafsirkan sebagai sesuatu yang bukan kecantikan fisik. Apa yang dimaksudkan oleh Huang dengan "dibenci untuk dilihat" bukanlah kejelekan fisik. Ada wajah-wajah jelek yang memiliki pesona yang sangat menarik dan ada pula wajah-wajah cantik yang kelihatan hambar.
Ada di antara teman-teman China saya yang kepalanya berbentuk seperti sebuah bom, namun sangat enak dipandang mata. Wajah paling cantik di antara para pengarang Barat, sejauh yang saya lihat dalam gambar-gambar, adalah wajah G.K. Chesterton. Ada penggerombolan seperti hantu dari kumis, kacamata, alis mata yang lumayan lebat dan garis-garis rajutan di mana alis-alis mata bertemu!
Orang akan merasakan adanya banyak gagasan yang sedang bermain-main di dalam kening itu, yang sewaktu-waktu siap diledakkan dari mata-mata dengan tatapan tajam yang penuh selidik. Itulah apa yang disebut Huang sebagai wajah yang cantik, bukan wajah yang dirias dengan bedak dan gincu, tapi dengan kekuatan berpikir yang dahsyat. Sedangkan untuk citarasa dari perkataan, semuanya bergantung pada cara seseorang membaca. Dalam perkataannya, apakah seseorang memiliki "citarasa" atau tidak, bergantung metode membacanya. Jika seorang pembaca memperoleh citarasa dari buku-buku, citarasa itu akan kelihatan dalam percakapannya, dan jika dia tidak memiliki citarasa dalam percakapannya, pastilah dia juga tidak memiliki citarasa dalam tulisannya.