Lihat ke Halaman Asli

Terorisme Adalah Kegagalan Cinta

Diperbarui: 19 Februari 2017   16:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pendapat umum pasti mengatakan bahwa terorisme lahir dari kebencian dan dendam. Namun, nyatanya tidak sepenuhnya benar, karena para teroris ini juga mengaku mencintai Allahnya dan melakukan teror dan pembunuhan atas nama cinta pada Allah tersebut. Mereka ini adalah orang-orang yang mencintai Allah dan melaksanakan nilai-nilai yang diajarkan oleh Allah melalui wahyu dalam kitab suci.

            Ketika mereka taat melaksanakan ajaran agamanya, disisi lain mereka menemukan fakta bahwa hidup mereka juga tetap sulit dan tidak pasti. Selain itu, mereka melihat fakta bahwa disekitar mereka banyak orang yang hidup tidak sesuai dengan ajaran agama yang mereka anut. Timbullah kekecewaan. Dan mereka mencoba melampiaskan kekecewaan itu dengan cara meneror dan membunuh. Bagi mereka itu adalah jihad di jalan Allah. Nama Allah dibawa-bawa untuk setiap tindakan kejam dan tak berperikemanusiaan yang mereka lakukan.

            Apakah mereka betul mencintai Allah? Tidak. Mereka hanya lelah mencintai. Mereka lelah melihat keadaan sekitar yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan Allah. Kelelahan mencintai berubah menjadi kebencian terhadap setiap orang yang tidak sejalan dengan mereka. Kelelahan cinta akan menjadi kegagalan cinta. Kegagalan cinta adalah kebencian itu sendiri.

            Orang yang gagal mencintai akan melihat semua orang sebagai musuh. Orang yang gagal mencintai adalah orang yang tidak mampu melihat perbedaan dan hanya mampu berpikir untuk menyeragamkan segala sesuatu sesuai dengan apa yang  ia yakini. Hal yang tidak seragam dengan apa yang ia yakini layak untuk dihancurkan. Daya untuk menghancurkan inilah sumber energi bagi terorisme. Akhirnya, cinta yang gagal membunuh akal sehat.

            Aristoteles pernah mengatakan bahwa keutamaan hidup terletak ditengah. Segala sesuatu yang ekstrim atau berlebihan selalu berakhir pada keburukan dan kejahatan. Begitu pula cinta. Cinta yang berlebihan akan bermuara pada kebencian. Itulah yang kita temukan pada diri para teroris. Begitu besar dan berlebihan cintanya pada keyakinan yang mereka anut bermuara pada kebencian pada setiap orang yang tidak sejalan dengan keyakinan mereka.

            Maka cinta memerlukan bumbu yang pas agar bisa dinikmati dan diberikan dengan sewajarnya. Apa saja bumbu-bumbu yang dapat membuat cinta menjadi wajar dan tidan berlebihan? Pertama, cinta membutuhkan kesadaran. Kesadaran akan menuntun orang untuk selalu mempertanyakan dan menilai setiap tindakan cinta yang ia lakukan. Kedua, cinta memerlukan ironi. Ironi adalah semacam rasa untuk menerima ketidak wajaran dalam hidup sebagai sesuatu yang ada dan tidak dapat ditolak, seberapapun kuat kita menolaknya.  

Ketiga, cinta memerlukan paradoks yaitu kemampuan untuk menerima tumpang tindih hal-hal yang berlawanan sebagai fakta kehidupan. Ironi dan paradoks akan bisa membuat orang menyentuh kebijaksanaan dalam hidupnya dan menjauhkan diri dari bahan bakar terorisme yaitu kebencian dan dendam. Keempat, cinta membutuhkan sedikit keraguan. Keraguan akan menjauhkan kita dari sikap ekstrim. 

Dengan keraguan, orang akan melihat kehidupan sebagai rentetan-rentetan kemungkinan, bukan kepastian. Hidup dengan prinsip kepastian justru akan membuat orang menjadi robot-robot idealis yang bermental fundametalis. Tanpa keraguan, cinta akan lelah, gagal dan berubah menjadi kebencian.

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline