Pada suatu sore, sekelompok anak muda berkumpul di kedai Museum Wayang Ukur, Jalan Taman Siswa, Jogja. Sebagian dari mereka adalah pekerja di kedai itu, sebagian yang lain adalah pelanggan. Sebagian mereka adalah mahasiswa, sebagian lagi penulis, dan sisanya adalah aktor dan pengangguran berbakat.
Dalam kumpul-kumpul tersebut tercetus sebuah ide, rasanya seperti wahyu Ilahi saja ide itu, yaitu membuat sebuah media yang dapat menyatukan seni, sains dan piknik, yang disampaikan dengan gaya bercerita. Maklum, sebagian besar anak muda ini adalah para penulis sastra, baik puisi, cerita, maupun naskah lakon. Di samping penulis sastra, ada juga di antara mereka yang suka menggambar.
Pertama, adalah soal nama. Dari sekian nama yang diajukan, mulai Berita Seni, Berita budaya, Kresha News dan Angkringan Post, akhirnya dipilih nama Jogja Review. Konsekuensinya, media ini bukan hanya menampilkan berita, namun juga review yang lebih dalam dan komprehensif. Ini jelas ide nekat mengingat anak-anak muda ini belum ada yang memiliki pengalaman kerja di sebuah media profesional. Namun rupanya mereka mau belajar, sehingga hasilnya cukup bisa dinikmati.
Setelah memutuskan nama, kemudian logo: Konsep logo Jogja Review berangkat dari Jogja sendiri sebagai sebuah kota budaya yang sederhana, bersahaja, artistik, namun juga modern. Dengan kata lain logo itu berangkat dari kekuatan tradisional Jogja itu sendiri. Awalnya, logo itu akan menggunakan tugu Jogja atau tokoh wayang sebagai ikonnya. Namun, itu terlalu umum. Akhirnya logo yang dipilih adalah siluet orang yang sedang berdiri, memakai teropong untuk memandang jauh ke depan, mengenakan pakaian sorjan dan menuntun sepeda onthel. Agar terkesan modern, siluet orang tersebut ditampilkan dalam warna-warni populer seperti lukisan-lukisan Piet Mondrian dan Andy Warhol.
Sehabis logo, dibuat berbagai rubrikasi. Rubrik ini meliputi berita yang merangkum info secukupnya tentang Jogja, Nasioanal dan Global. Kemdian review yang meliputi seni, sains, serta rubrik jelajah yang menampilkan trip story baik Jogja, Indonesia maupun mancanegara. Dan agar Jogja dapat lebih dikenal, mereka memberi rubrik Istimewa yang bersisi hal-hal unik serta warisan tradisi Jogja, dengan mengulas makna-maknanya, bukan semata fungsi dan tampilannya. Ada juga Kolom yang menghadirkan tulisan para pakar yang dianggap kompeten.
Perlu diketahui, anak-anak yang bikin media ini terhitung agak gaptek. Dari mereka semua, hanya satu orang yang handphonnya android, ada dua orang yang tidak memiliki laptop, dan tak seorang pun yang punya tablet. Jadi wajar kalau konsep webnya masih belum familiar dengan teknologi informasi jaman sekarang. Untungnya, dan ini berkat kasih sayang Tuhan, rangking media ini cukup bagus di Alexa dan Google, dan jika istiqomah bukan mustahil akan terus naik secara perlahan namun pasti.
Apa yang paling menarik dari media ini adalah stiker-stiker mereka di fanpage Facebook dan juga di twiiter dalam rupa tokoh-tokoh wayang yang tampil dengan warna-warni yang menyenangkan untuk anak muda jaman sekarang. Namun, yang paling disukai dari Jogja Review adalah adanya Cerita Bersambung. Meski belum maksimal (mungkin karena masih awal), bukan mustahil mereka akan mengeluarkan kreativitas mereka di kemudian hari.