Lihat ke Halaman Asli

Ipung Jogjangler

Fasilitator ketangguhan bencana dan pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat

Copet Pasar Ngasem

Diperbarui: 4 Juli 2015   14:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Intimidasi atau pengancaman pada anak, apa pun bentuknya, akan direkam dalam memori jangka panjang si anak. Merasuk ke dalam jiwanya. Membangkitkannya sebagai monster saat ia dewasa.

Dor...dor...dor...kudengar tiga kali letusan di depan bank Bapindo di selatan tugu. Salah satu letusan berasal dari lelaki berbadan tinggi besar berjalan di samping kananku. Tepat di depan pintu bank kulihat seseorang jatuh terlungkup. Sedetik kemudian seorang laki-laki berjaket hitam, memakai helm, berlari menyambar tas dari tangan nasabah malang itu, lalu kabur membonceng sepeda motor ke selatan ke arah Malioboro.

Polisi, satpam, karyawan bank dan nasabah berhamburan keluar dari gedung bank. Lelaki tinggi besar di kananku menyeret tanganku ke sudut kios bensin samping bank. Dia menunjukkan pistolnya terselip di balik jaket, menatapku dalam-dalam, mencekik leherku, lalu berkata lirih tegas, "Kamu diam atau kubunuh?" Aku mengangguk dan dia melepaskan cekikannya.

"Ini pak. Ini rampoknya. Dia bawa pistol!" Aku berlari ke arah kerumunan sambil tanganku menunjuk ke arah si tinggi besar. Teriakanku mengundang perhatian semua orang. Dor...dor.... Dua kali letusan dari arah belakangku menyebabkan pria tinggi besar itu terpental tepat pada saat dia akan mencabut pistol dari balik jaketnya. "Terimakasih," kata polisi dari belakangku. "Ya, pak. Tapi telinga saya berdenging," jawabku. Pistol polisi itu meletus beberapa senti meter dari telingaku.

Lima jam di kantor polisi Ngupasan didata dan ditanyai ini itu. Rencana main catur dan mengunjungi perpustakaan KR hari itu batal. Main catur dan baca buku jadi kegiatan liburan menyenangkan ketika itu. Siapa sangka rencana indah berantakan gara-gara peristiwa bodoh. Bagian paling menyebalkan dari peristiwa itu adalah seseorang telah mengancam akan membunuhku. Bapakku saja tidak pernah mengancamku.

Sehari berlalu, seorang polisi bersama pejabat bank mengunjungiku di rumah. Mereka membawa sekardus besar hadiah. "Silakan dibuka. Ini ucapan terimakasih kami." Kata pejabat bank. Kubuka kardusnya. Sebuah papan catur kecil bermagnet merek Rigs. Ini papan catur impianku. Dua buah novel Huckleberry Finn dan enam buah novel Rowald Dahl. Aku berencana membeli novel-novel itu setelah tabunganku cukup. Terakhir, sekotak hot wheel beragam model. Ahhh....Itu mainan mobil-mobilan idaman semua anak seusiaku. Ya, ketika itu aku masih kelas satu SMP, sedang menikmati liburan semester pertama. Tidak butuh lama mencari tahu bagaimana bisa mereka memiih hadiah. Sudah pasti mereka bertanya pada ibuku.

Sebelum pergi mereka menjelaskan dua pelaku perampokan sudah tertangkap. Seorang lainnya masih dirawat di rumah sakit karena luka tembak. Setelah sembuh dia akan ditahan dan dipenjara cukup lama. Aku diminta tenang. Tenang? Bagaimana bisa aku tenang setelah seseorang mengancam membunuhku.

Sembilan tahun kemudian menonton film di bioskop di Borobudur Plaza di jalan Magelang. Saat menunggu pintu bioskop dibuka aku melihat seseorang dengan wajah sangat ku kenal. Terlihat sedikit lebih tua. Badannya masih tinggi besar tetapi ukuran tubuhku sudah melebihinya. Berpakaian serba hitam dia melintas dihadapanku lalu berbelok menuju ruangan semacam kantor. Meski sudah delapan tahun, masih kuingat wajahnya, tatapan matanya, kata-kata ancamannya. Mungkin karena itu peristiwa emosional maka setiap potong informasi tersimpan sangat baik dalam ingatan jangka panjangku.

Menurut informasi dari penjaga pintu bioskop dia itu anggota keamanan diskotik Crazy Hourse. Diskotik itu terletak di lantai bawah gedung tepat di bawah bioskop. Butuh waktu seminggu untuk memelajari dan menyusun rencana.

Kutinju kerongkongannya hingga dia terpental ke belakang membentur pintu diskotik. Dia tidak siap dengan serangan mendadak. Anggota keamanan lainnya berusaha menghentikan serangan dengan mendorongku. Telat. Siku tanganku lebih cepat menghantam pelipisnya. Kurasakan benda dingin menempel di pelipis kiriku tepat saat aku akan mencabut sangkur. "Angkat tanganmu!" Seorang polisi menyamar menghentikan aksiku.

Kembali ke kantor polisi Ngupasan. Masuk ke ruangan sama dan duduk di kursi sama dengan ketika aku diperiksa sebagai saksi kasus perampokan sembilan tahun lalu. Bedanya, kali ini tanganku diborgol. Setelah didata, polisi menghentikan proses. Mereka justru sibuk membaca berkas kasus perampokan sembilan tahun lalu. Namaku disebut-sebut ada dalam berkas. Borgol tanganku dilepas. "Dik Sigit, ada apa lagi?" Kata seorang polisi senior saat muncul dari pintu. Ya, aku ingat polisi ini bersama pejabat bank membawa hadiah ke rumahku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline