Lihat ke Halaman Asli

Ipung Jogjangler

Fasilitator ketangguhan bencana dan pengurangan risiko bencana berbasis masyarakat

Aku Seorang Bapak

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berpuluh tahun lalu, di bawah pohon belimbing depan sekolah, kalian membuatku tertegun dengan cerita kehebatan bapak-bapak kalian. Sejak itu aku berpikir kalian anak-anak hebat dengan bapak hebat.

Ninok, Wiji, Suyat, Darno, Irwan, kalian beruntung punya bapak hebat. Karya bapak kalian dinikmati dan dibutuhkan banyak orang. Ninok, bapaknya penjaga makam, ahli mengurus mayat, menggali kubur dan menjadi pendoa di upacara penguburan. Wiji, bapaknya tukang becak, mengantar penumpang sampai ke rumahnya. Suyat, anak tukang koran, bapaknya selalu membawa pulang koran atau majalah untuk dibaca sekeluarga. Darno, anak pegawai kelurahan, bapaknya bertugas mengurus surat-surat warga sekelurahan. Irwan, bapaknya petani,  menanam jagung dengan buah besar dan manis.

Aku melongo ketika tiba giliranku menceritakan kehebatan bapakku. Katanya dia tentara berpangkat tinggi, setelah itu aku tidak tahu apa-apa. Bagaimana aku bisa menceritakan apa kehebatannya. Lagi pula bedil dan pangkat itu tidak hebat. Aku bukan anak dari seorang bapak hebat seperti kalian. Sebab bapakku mematikan, bapak kalian menghidupkan.

Bagiku bapak hebat itu bisa menjelaskan pada anak-anaknya tentang apa pekerjaannya, bagaimana dia bekerja, siapa membutuhkan hasil pekerjaannnya. Persis seperti bapak-bapak kalian itu.

Bapak hebat juga bisa merangsang daya khayal anak-anaknya utuk menjadi lebih hebat darinya. Ninok ingin belajar ilmu agama agar dia bisa membantu orang lain selagi masih hidup. Wiji bercita-cita menjadi insinyur merancang kendaraan efisien. Suyat bermimpi jadi wartawan. Darno bertekat jadi camat. Irwan bermimpi jadi insinyur pertanian.

Aku? Berlari ke WC belakang sekolah. Pura-pura kencing, lalu sibuk mencari cermin. Aku tidak akan kembali ke bawah pohon belimbing kalau mataku masih terlihat merah.

Sekarang aku punya anak. Dan aku bersumpah jangan sampai pengalamanku terjadi pada anak-anakku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline