Lihat ke Halaman Asli

Djodi Sambodo

Writing is for fun.

Menolak Lupa di Tengah Pandemi

Diperbarui: 19 Juni 2020   17:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

tagkapan layar

Bermula dari woro-woro Wahyu Susilo, ketua LSM Migrant Care yang beredar di media sosial, mengajak para pekerja migran khususnya dan penggemar sastra pada umumnya untuk menolak lupa dengan membaca puisi-puisi Wiji Thukul. 

Acara pembacaan puisi digelar secara online melalui media Zoom sebelum dimulainya pemutaran film Istirahatlah Kata-Kata oleh TVRI, Selasa, 16 Juni 2020. Film yang berkisah tentang buronnya Wiji Thukul dari kejaran aparat Orde Baru dan aktivitas menulisnya walau di tengah ancaman penangkapan.

Tak ayal para pekerjaan migran yang masih aktif bekerja ataupun yang mantan bernaung dalam Sastra Pekerja Migran, aktivis, dosen yang berada di dalam dan luar negeri bersama para pemeran film Istirahatlah Kata-Kata ikut membaca dan larut dengan semangat perlawanan, tentunya dalam melawan pandemi Covid-19 agar tidak menyurutkan kecintaan akan sastra.

Nama-nama pekerja migran yang lama menggeluti dunia sastra antara lain Mega Vristian, Maria Bo Niok, Nessa Kartika dan lain-lain yang beberapa karya sastranya seperti puisi dan cerpen telah diterbitkan dalam beberapa buku juga ikut berpartisipasi. 

Untuk nama pertama yang disebutkan di atas, karyanya pernah diulas oleh pemerhati sastra seperti dalam buku yang berjudul Nyanyian Imigran dan At A Moment Notice terjemahan Jafar Suryomenggolo. Walau sudah tidak menjadi pekerja migran lagi, kiprahnya selama 24 tahun bekerja di Hong Kong dan kegemarannya di dunia seni budaya sastra, undangan membaca puisi ini bak gayung bersambut. 

Sajak Suara yang mengungkapkan suara hati Wiji Tukul yang tidak bisa diredam, menjadi puisi pilihan untuk dibaca Mega Vristian. Semua penampilan peserta acara pembacaan puisi Wiji Thukul dapat dinikmati di kanal youtube di bawah ini. 
Menjadi pekerja migran tidak melulu sekedar mengais devisa. Tetapi memahami budaya negeri setempat, bersosial sesama pekerja, menyalurkan bakat seni dan bersastra dapat menjadi pengobat rindu tanah air dan kepenatan bekerja.

Kembali lagi kepada suaminya mbak Sipon ini, mungkin pekerja migran tersebut tidak banyak yang tahu siapa beliau sebenarnya. Penyair jalanan pemompa semangat pejuang perubahan demokrasi 32 (tiga puluh dua) tahun era Orde Baru. Selalu berada di garis depan setiap ada aksi perjuangan anak-anak muda.

Mulai dari puisi "Di bawah selimut kedamaian palsu" sampai puisi fenomenal yang berjudul "Peringatan". Penggalan kalimat "Hanya ada satu kata: "Lawan!" menjadi teriakan wajib para pengunjuk rasa di tahun 1997 sampai 1998.

Nafas panas semua puisi karya Wiji Thukul sudah lahir sejak tahun 1980-an. Jiwa Wiji Thukul sudah lama membara ternyata. Bahkan puisi yang berisi kata "Lawan" tersebut adalah karyanya yang ditulis pada tahun 1986.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline