Lihat ke Halaman Asli

Pelangi setelah Hujan

Diperbarui: 18 Juni 2015   00:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Hari hampir hujan, awan pekat tampak menyelimuti langit, orang-orang mulai sibuk sendiri; dari mengangkat jemuran, memanggil bocah-bocah mereka untuk pulang, hingga mengandangkan ayam-ayam agar tidak lagi berkeliaran. Terlihat juga domba dan kambing yang sedu-sedan saat gemiris mulai berjatuhan, sibuk mencari perlindungan agar bulunya tidak basah kena hujan.

Jalanan tampak lengang, rintik hujan mulai lebat. Tali-temali air kian kencang menghentak daratan, menghujam dedaunan hingga tengkurap berbalik arah; atas ke bawah, bawah ke atas. Pada sudut-sudut atap rumah, air bercucuran, penuh ember tempat penampungan. Air terlihat merah kecoklatan. Hujan pertama setelah setahun dilanda kekeringan.

Bapak berpesan agar tidak bermain hujan jika itu adalah hujan pertama setelah sekian lama tidak hujan, bisa timbul penyakit. Entah darimana Bapak dapat pengetahuan begitu. Walau demikian kami tidak berani melanggarkan. Kami segan sama Bapak, selalu mematuhi kata-katanya. Jangankan kami anaknya, orang sekampung-pun tidak berani melanggar jika Bapak sudah berucap batasan-batasan.

Dua jam sudah hujan mengairi sawah, ladang, pekarangan, rerumputan, ilalang hingga ternak-ternak kami, hingga terpuas dahaganya. Kering setahun hilang dengan hujan walau baru sebentar. Tanah menggeliat menyerap banyak sisa-sisa hujan, seakan menyimpannya sebagai cadangan siapa tau hujan seharian sepanjang tahun kemudian kemarau yang tak berkesudahan; semoga saja tidak. Sayang tempat bercocok tanam kami telah lama jadi pengangguran, persawahan tidak ada kegiatan yang menguntungkan, selain anak-anak yang berleha-leha dengan bola sepak tanpa penjaga gawang.

Bapak tampak sibuk mengairi air agar tidak tergenang di pinggiran rumah. Bapak membuat semacam drainase mini agar air turun ke persawahan. Ibuk yang dari tadi tidak kelihatan ternyata lagi didapur menyiapkan makan malam. Diluar gerimis belum juga reda, masih saja terdengar dari atap rumah kami yang terbuat dari seng, tidak teralu lebat, tapi cukup membuat badan terasa kedinginan.

Jam tidurpun dipercepat, dingin menyungsup ke sum-sum tulang membuat badan menggigil tak karuan, bagai tinggal dipegunungan. Malam kian sunyi, semua mati suri. Jangkrik tidak bergeming hanya ada kodok terdengar ngorok girang bukan kepalang.

***

Lama mata terpejam, aku mendapati diri di tenda darurat pengungsian dengan selang infus ditangan dan kedua kaki terperban. Apa yang terjadi pikirku. Kepala terasa pusing pikiran begitu hening. Lamat-lamat aku membuka mata seakan bumi hentak bergoyang. Kemudian seorang perempuan berbaju putih masuk, berdiri pas disamping ranjang aku dibaringkan.

Senyumnya tersungging mendapatiku telah membuka mata, dia memeriksa tekanan jantungku, menyenter kedalam bola mataku, dan menyuntik cairan ke dalam botol infus yang selangnya tembus ke rongga nadiku.

Tidak berkata apa-apa dan aku tidak menanyakan apa-apa. Aku hanya melihat laku dan gerak-geriknya saja. Padahal ingin sekali berucap dan bertanya apa yang terjadi, saat kucoba dada terasa sakit dan suara enggan keluar. Sungguh sangat tersiksa.

"Dik telah sadar rupanya" perempuan itu berucap. Terus kucoba menyahutinya, tetap tidak bisa. Aku tergagap-gagap. " Jangan dipaksakan dik, nanti akan normal kembali. Hanya butuh waktu dan perawatan beberapa hari lagi saja". Suaranya begitu merdu dengan lakunya yang anggun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline