Apa yang salah pada kasus yang menimpa wanita warga Tanjung Balai, Sumatera Utara, bernama Meiliana sehingga dia harus menjadi pesakitan hingga divonis bersalah dengan hukuman penjara 18 bulan atau 1,5 tahun oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Medan pada hari Selasa, 21 Agustus 2018?
Jika kasus yang menjerat Meiliana hanya berupa pertanyaan dari curhatan atau keluhannya kepada suara loudspeaker Azan yang bikin pekak telinganya karena digaungkan setiap hari sebanyak lima kali pada jarak tujuh meter dari rumahnya, maka pertanyaan dari curhatan dan keluhannya Meiliana tidak dapat diindikasikan sebagai perbuatan yang menistakan agama. Meiliana yang hanya bertanya, bercurhat dan berkeluh kesah perihal volume suara azan yang bikin pekak telinganya telah menunjukkan betapa perbuatan Meiliana adalah ekspresi yang manusiawi dan bersifat universal. Oleh karena itu untuk menghadapi pertanyaan, curhatan dan keluh kesah Meiliana harus dihadapi dengan peranan mediasi diskursus untuk memberikan kepastian jawaban melalui upaya jalan dialog.
Lantas kalau memang tidak ada yang salah pada pertanyaan, curhatan dan keluh kesah Meiliana, lantas mengapa realitasnya majelis hakim Pengadilan Negeri Medan telah memberikan vonis bersalah kepada Meiliana dengan hukuman penjara 18 bulan atau 1,5 tahun? Jika saya mengikuti kronologis kasus yang menimpa Meiliana, maka ada tiga kesalahan fatal yang dihadapkan pada kasus yang menjerat Meiliana sehingga perbuatan yang tidak memiliki substansial kesalahan pada diri Meiliana akan menjadi bersalah akibat adanya tiga kesalahan yang melatarbelakangi kasusnya.
Pertama, kesalahan fatal pada sistemik hukum kita yang masih memberlakukan pasal karet yang multitafsir perihal Penodaan Agama melalui pasal 156 huruf aKitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal karet yang multitafsir dari Pasal 156 huruf a KUHP inilah sebagai biang kerok tertutupnya ruang diskursus berupa kritik, saran, ekspresi, debat dan diskusi dari antar wacana kelompok yang berbeda keyakinan. Oleh karena Pasal 156 huruf a KUHP bersifat karet yang multitafsir, sehingga pertanyaan, curhatan dan keluh kesah Meiliana telah dimultitafsirkan sebagai perbuatan Penodaan Agama yang melawan hukum.
Kedua, kesalahan fatal mental cowardly personality dari para aparat penegak hukum kita sendiri yang terlalu tunduk pada kemauan mass pressure. Ketika para aparatur yang menjalankan amanat Hukum Negara sudah tunduk pada kemauan mass pressure, maka jangan berharap hukum akan mendapatkan ruh adagium jati dirinya: fiat justitia ruat caelum (tegakkan hukum meskipun langit runtuh). Studi kasus yang telah menelanjangi Hukum Negara secara semena-mena sehingga Negara harus tunduk pada kemauan mass pressure telah terjadi pada kasus Ahok dan kini terulang kembali kepada Meiliana.
Ketiga, kesalahan fatal betapa sangat-sangat lemahnya para aparatur Negara kita ketika menghadapi sebuah kasus yang sudah di-blow up oleh the power of radical mass pressure which is religiously charged. Tergerusnya nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika yang akhir-akhir ini terus mengancam mekanisme toleransi yang ada di masyarakat kita justru tiada lain diakibatkan oleh Negara melakukan pembiaran terhadap kesemena-menaan kelompok radikal yang terus-terusan dan tiada bosan-bosannya memaksakan kehendaknya.
Betapa ironisnya, ketika amuk massa radikal merusak dan membakar tempat ibadah vihara dan kelenteng, tapi yang terjadi para perusuh tidak dikenakan pasal penodaan agama dan hanya divonis penjara 1 sampai 2 bulan. Padahal dalam Islam sendiri menegaskan betapa dalam kondisi perang sekalipun umat Muslim dilarang keras melakukan perusakan terhadap tempat-tempat ibadah non-Muslim. Al Qur'an surah Al Baqarah ayat 114 telah menuliskan: وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن مَّنَعَ مَسَاجِدَ اللَّهِ أَن يُذْكَرَ فِيهَا اسْمُهُ وَسَعَىٰ فِي خَرَابِهَا أُولَٰئِكَ مَا كَانَ لَهُمْ أَن يَدْخُلُوهَا إِلَّا خَائِفِينَ لَهُمْ فِي الدُّنْيَا خِزْيٌ وَلَهُمْ فِي الْآخِرَةِ عَذَابٌ عَظِيمٌ (Lalu, siapakah yang tepat dianggap lebih zalim daripada orang-orang yang berusaha melarang dan menghalang-halangi disebutnya nama Tuhan di tempat-tempat peribadatan serta berusaha menghancurkan tempat-tempat tersebut. Padahal mereka tidak berhak memasukinya kecuali dalam keadaan takut kepada Tuhan. Kelak mereka yang menghancurkan tempat-tempat peribadatan akan mendapatkan kesengsaraan di dunia dan siksaan yang berat di akhirat).
Jika para aparatur penegakan hukum Negara yang memiliki kewenangan mau bersedia menilik lebih jauh dari kronologis peristiwa ini, maka betapa bukan pertanyaan, curhatan dan keluh kesah Meiliana yang menjadi pemicu aksi kerusuhan yang sebenarnya, melainkan ada pihak-pihak yang telah menggoreng pertanyaan, curhatan dan keluh kesah Meiliana menjadi sebuah hoax kasus bercontain SARA dan lantas hasil gorengannya diprovokasikan kepada massa untuk bertindak anarkis melakukan perlawanan terhadap hukum secara brutal dan vandalis.Di sinilah dibutuhkan kesigapan peran aktif polisi dalam mengupas tuntas peristiwa yang dihadapi oleh Meiliana ini tanpa harus mengorbankan Meiliana sebagai pihak yang harus ditumbalkan.
Kalau standard ganda dari Negara sudah saling crash tumpang tindih seperti ini, di satu sisi ingin memerangi aksi Terorisme, tapi di sisi lain justru melakukan pembiaran terhadap perkembangbiakan kelompok radikal Agama yang terus semakin membesar populasinya, maka analoginya bisa disamakan dengan di satu sisi Negara berupaya memerangi penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD), tapi di sisi lain Negara melakukan pembiaran terhadap perkembangbiakan nyamuk Aedes Eegypti. Wallahu a'lam Bissawab.
Salam,
Joe Hoo Gi