Lihat ke Halaman Asli

Spiritualitas dan Kebangsaan

Diperbarui: 26 Juni 2015   15:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Spiritualitas & Kebangsaan. Hal awal yang sering dijadikan referensi bagi seseorang untuk memulai perjalanan spiritualnya adalah kesadaran bahwa tidak ada sesuatu di dunia ini yang dapat memuaskan dirinya, atau kesadaran akan penderitaan diri. Kesadaran awal ini akan membawa dirinya mencari-tahu siapa sih dirinya (jati [caption id="attachment_151948" align="alignleft" width="150" caption="kalanganpapanatas.com"][/caption] dirimya) sebenarnya? Apa yang telah terjadi di dalam dirinya? Apa alasan dirinya lahir di dunia ini? Dstnya..... Semangat kebangsaan pun lahir dari “mekanisme” yang sama. Kekacauan dalam suatu negara semestinya akan membuat warganya terpicu untuk introspeksi dan merenungkan apa yang telah terjadi di lingkungan tempat dia tinggal. Kesadaran akan kekacauan dan penderitaan yang terjadi di negaranya sendiri itulah kesadaran awal dari lahirnya sebuah jiwa dan semangat [caption id="attachment_151949" align="alignright" width="300" caption="Aku Bangga Jadi Orang Indonesia (Sumber : www.nationalintegrationmovement.org)"][/caption] kebangsaan. Kesadaran ini sendiri timbul dari rasa empati dalam diri tiap individu yang bermukim di negara tersebut. Tanpa rasa ini, semangat kebangsaan hanyalah sebuah alat atau komoditas bargain yang digunakan para politikus dalam berdagang di percaturan politik/kekuasaan. Inilah salah satu perbedaan mendasar antara kebangsaan dan politik. Kesadaran atas kekacauan yang menimpa negeri pun akan membawa warganya bertanya-tanya tentang jati diri bangsa, karena jati diri ini akan menjadi patokan dan pegangan dirinya dalam menjalani kehidupan berbangsa. Apakah jati diri bangsa sudah sesuai dengan budaya asal bangsa itu atau telah terjadi identitas yang salah? Kenapa kita bisa lahir di suatu negara tertentu dengan tradisi tertentu yang berbeda dengan negara lain? Pertanyaan-pertanyaan ini akan sering bermunculan dalam kontemplasi yang mungkin dilakukan seorang warga. [caption id="attachment_151976" align="alignleft" width="150" caption="mymindfulnesstherapy.com"][/caption] Dalam spiritualitas, kita sadar bahwa hanya dengan landasan Kasih, kita akan dapat mencapai Kebenaran. Dalam konteks kebangsaan, dengan landasan Kasih yang berwujud pada Bhakti Bagi Ibu Pertiwi, tiap rakyat suatu negara terpicu rasa perikemanusiaannya. Rasa keperimanusiaan ini adalah sensifitas diri yang mampu merasakan penderitaan diri sendiri maupun penderitaan orang lain, terutama dalam konteks penderitaan warga sebangsa-setanah air. Perikemanusiaan yang menolak penindasan terhadap manusia lain tapi juga menolak penderitaan pada diri sendiri. Berangkat dari Perikemanusiaan ini, otomatis kita akan berusaha mencapai suatu keadilan (sosial) bagi seluruh rakyat. Dalam perjalanan menuju Kebenaran, seorang spiritualis bisa menggunakan cara bhakti (berkarya tanpa pamrih) sebagai salah satu cara. Demikian pula dalam rangka menuju Keadilan bagi seluruh rakyat, seorang warga negara bisa menggunakan Bhakti pada Negara sebagai salah satu cara tercepat dan paling tepat menuju keadilan sosial. Keadilan adalah suatu kejadian, bukan suatu upaya kompromi. Keadilan hanya bisa lahir dari rahim Kebersamaan. Dan Kebersamaan baru bisa tercipta dari upaya sinkronanisasi rasa & pikiran dari masing-masing individu yang sudah mandiri tapi setara. Ultranasionalis versi Nazi, atau seorang chauvinis bukanlah rasa kebangsaan yang berasal dari spiritualitas, karena landasan mereka adalah kesombongan suatu bangsa tertentu (Misalnya : Jerman masa Hitler dengan Bangsa Arya-nya) dan mereka menyebarkan rasa takut dan superioritas dalam menggerakkan paham mereka. Demikian pula Nasionalisme Israel yang sedang mereka tunjukan sekarang bukanlah kebangsaan spiritual, karena landasan mereka (mungkin) adalah doktrin keagamaan yang kaku dan fanatis, yang mengatakan bahwa hanya merekalah Bangsa Pilihan Yehova. Itu bukanlah kebangsaan, paling tidak bukanlah semangat kebangsaan Indonesia yang diajarkan para founding fathers kita. Apakah suatu kebetulan bahwa ada sebuah formula sederhana yang persis berdasarkan urutan-urutan Pancasila? Coba kita perhatikan (1) Orang yang berKetuhanan, (bukan hanya BerTuhan atau beragama) biasanya orang yang mendalami spiritualitas. Hasil/Buah dari Spiritualitas semestinya adalah Cinta/Kasih. (2) Kasih adalah Landasan Dasar dari Perikemanusiaan/Humanitas (bukan hanya Humanisme belaka). (3) Humanitas, ternyata, adalah dasar dari Nasionalisme. (4) Dengan semangat nasionalisme, semestinya menghasilkan suatu sistem pemerintahan atau kedaulatan rakyat berdasarkan demokrasi yang berlandaskan pada kebijaksanaan dan kearifan (Hikmat Kebijaksanaan). (5) Dan sistem pemerintahan dan kedaulatan ini akan mengantarkan seluruh rakyat pada keadilan sosial. Tetapi, tentu saja, bila BerKetuhanan diartikan sebagai kewajiban memeluk agama tertentu (apalagi dikaitkan hanya pada yang Tuhannya berpribadi) saja, maka formula di atas menjadi tidak relevan lagi. Jadi Rasa Kebangsaan atau Nasionalisme yang diusung para founding fathers kita adalah aktualisasi atau praktek sehari-hari dari spiritualitas. Nasionalitas yang berdasarkan Humanitas yang merupakan buah dari Kasih yang terpancar dari diri seorang pelaku spiritual. Bukan Kebangsaan yang timbul dari Kekerasan suatu paham atau doktrin yang merasa diri atau kelompoknya lebih hebat dari kelompok lainnya, seperti Ultranasionalis Nazi ataupun Fasisme Mussolini. Kebangsaan atau Nasionalisme Indonesia lahir dari kelembutan Jiwa seorang spiritualis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline